Mohon tunggu...
Gabriela Valery Romana
Gabriela Valery Romana Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mercu Buana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sadulur Papat Lima Pancer sebagai Kearifan Lokal Indonesia

26 Oktober 2022   23:52 Diperbarui: 26 Oktober 2022   23:57 1085
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam setiap tindakan kita sebenarnya terdapat “bisikan” yang berasal dari hati nurani. Terkait benar tidaknya tindakan tersebut. Tetapi sebagai manusia fana, kita lebih sering menuruti hawa nafsu dan kenikmatan duniawi dibanding mendengarkan suara hati nurani dalam diri.

Meski sedulur papat tidak berwujud fisik, namun jika kita meletakkannya dalam alam bawah sadar maka “saudara” kita tersebut juga dapat membantu dalam hal kebaikan. Pikiran bawah sadar tidak tidur ataupun beristirahat (Haanel, 2012). Tidak berbeda dengan kerja jantung dan darah kita yang selalu bekerja. Apabila kita meyakini hal-hal yang ingin dicapai pada alam bawah sadar, maka hal tersebut akan meningkatkan motivasi diri untuk mewujudkannya.

Harus kita yakini adalah bahwa Pancer atau diri kita mempunyai alam bawah sadar yang terhubung dengan pikiran univeral atau alam semesta. Hubungan ini bersifat konstruktif, hal ini secara tidak langsung memberi sugesti dalam membentuk kondisi sesuai yang kita inginkan.

Terdapat beberapa sifat alam pikiran bawah sadar yang dapat mewujudkan sedulur papat tersebut, seperti kuat atau lemahnya intensitas emosi, reaksi psikologis yang dihasilkan, perubahan tubuh fisik, memiliki imaginasi yang kuat, adanya sugesti berulang untuk penguatan data, mengkondisikan diri sepenuhnya sadar, berorientasi pada masa kini, mengurangi penggunaan kata berkonotasi negatif, dan mengikuti instruksi positif secara repetitif.  

Dalam falsafah “Sadulur Papat Limo Pancer” yang bersifat kejawen ini, mengajarkan kita berbagai macam cara untuk memenangkan “peperangan” dengan laku prihatin melalui empat tahapan yang harus secara tuntas dilaksanakan. Keempat tahapan ini dikiaskan dalam nada suara nstrumen Gamelan Jawa bernama Kempul atau Kenang dan Bonang yan menghasilkan bunyi Neng, Ning, Nung, dan Nang. Akhir dari keempat tahap tersebut adalah kodrat, seperti yang terdapat pada Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu (wedaran, atau ajaran-ajaran yang menurut kisah pewayangan Jawa diajarkan atau diwedarkan oleh Resi Wisrawa kepada Dewi Sukesi).

Masing-masing bunyi ini memiliki filosofinya masing-masing, seperti Neng yang berarti jumeneng (konsentrasi dalam membangkitkan kesadaran batin dan penyelarasan dengan Sang Pencipta. Lalu Ning yang berarti wening (dalam kehedingkan kita mengheningkan cipta untuk menangkap sinyal ghaib dari sukma sejati). Kemudian Nung memiliki arti kesinungan, yang bermakna utama (dalam Nung akan datang dari Hyang Mahasuci melalui rahsa guna ditangkap oleh sukma sehati, diteruskan kepada jiwa, untuk diolah menjadi manifestasi laku utama. Terakhir, Nang memiliki arti menang (kemenangkan yang dimaksudkan berupa anugerah kenikmatan dalam meraih kehidupan sejati yang selalu berkecukupan dan penuh keberuntungan atau meraih ngelmu beja. 

 

Falsafah jawa kuno “Sedulur Papat Limo Pancer” memiliki makna spiritual yang teramat dalam. Lima elemen dasar di dalamnya berbicara mengenai kelahiran seorang menusia (jabang bayi) yang tidak lepas dari pernyerta (sedulur) tak kasat mata. Sedulur atau saudara inilah yang menyertai kehidupan sesorang mulai dari lahir ke dunia hingga mati.  

Istilah Sedulur Papat Limo Pancer oleh penganut kejawen diyakini sebagai warisan budaya karya Sunan Kalijaga pada abad 15-16, yang bersumber dari suluk Kidung Kawedar atau Kidung Sarira Ayu di bait ke 41-41.

sumber : dokumen pribadi
sumber : dokumen pribadi

Marmati memiliki arti Samarti atau takut mati. Berasal dari kekhawatiran seorang ibu akan tibanya hari kelahiran yang akan mempertaruhkan nyawanya. Setelah itu keluarlah Kawah (air ketuban), ari-ari, dan getih. Karena yang keluar terlebih dahulu adalah air ketuban, lantas dianggap sadulur tuwa atau Kakang Kawah. Setelah bayi dilahirkan, ari-ari yang keluar setelahnya disebut adi ari-ari. Begitupun dengan Rah/Getih (darah). Keduanya disebut sadulur enom. Sedangkan Puser dianggap sebagai pusat. Hal inilah yang memunculkan istilah “Sadulur Papat Limo Pancer”.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun