Mohon tunggu...
Gabriela DeaWahyu
Gabriela DeaWahyu Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswi UAJY

Mahasiswi Ulmu Komunikasi 2019

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Tari Bedhaya Sapta Jangan Sampai Hilang! Penasaran? Yuk Simak!

19 Desember 2020   11:05 Diperbarui: 19 Desember 2020   11:14 1381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : kratonjogja.id

20 April 1985, tarian ini kembali dipentaskan dalam rangka Tingalan Jumenengan Dalem atau Ulang Tahun Penobatan Sultan meskipun ada beberapa perubahan ketika pementasan berlangsung karena guna menyelaraskan tembang. Hingga saat ini, eksistensi Bedhaya Sapta masih dipertahankan dan tetap diajarkan kepada para Abdi Dalem Matoyo (penari) yang berlokasikan di Keraton Yogyakarta.

Dari akun Instagram Kraton Jogja, Bedhaya Sapta secara umum dibawakan dalam beberapa ragam gerak, antara lain: gudhawa asta minggah, mlampah semang, impang encot, gajah ngoling, impang majeng, nggrudha, bangomate, dan puspita kamarutan.

Bedhaya Sapta memiliki pola lantai yang berbeda dari bedhaya pada umumnya karena langsung dipaparkan dalam pola lantai dan pesindhenan sejak awal gendhing. Peran-peran penari seperti endhel, batak dan sebagainya yang biasa terdapat dalam bedhaya tidak berlaku dalam Bedhaya Sapta. Penyebutannya diganti dengan penari 1, 2, 3, 4, 5 serta a dan b.

Foto : Insatgram @kratonjogja
Foto : Insatgram @kratonjogja

Sementara, kemiripan Bedhaya Sapta dan bedhaya yang dibawakan sembilan penari terletak pada pola rakit lajur, rakit ajeng-ajengan atau rakit gelar. Pola garis diagonal merupakan kekhasan yang hanya dimiliki Bedhaya Sapta. Sementara komposisi gendhing yang akan ditampilkan, meliputi gendhing pambuka, gendhing soran, gendhing lirihan I, II dan III serta gendhing panutup

Menurut Senayanpost.com (2020), memperingati hari kelahiran atau Wiyosan Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X yang digelar pada hari Selasa Wage tanggal 20 Oktober 2020 silam, Keraton Yogyakarta menggelar Uyon-Uyon Hadiluhung di Bangsal Sringanti, Keraton Yogyakarta. 

Dikarenakan situasi dan kondisi masih menyebarnya wabah virus Covid-19, pertunjukan kali ini digelar tanpa adanya reservasi dan juga penonton. Namun tetap disiarkan melalui siaran langsung atau live streaming di kanal Youtube dan Periscope Kraton Jogja, serta siaran melalui RRI Pro 4 Yogyakarta yang dimulai pada pukul 20.00 WIB. Dalam Uyon-Uyon Hadiluhung tahun ini, Keraton Yogyakarta akan mempersembahkan komposisi gendhing dan tari Bedhaya Sapta. Gendhing merupakan alat atau instrumen yang memiliki fungsi untuk memeriahkan acara Uyon-Uyon Hadiluhung dan juga sebagai alat musik khas dari Jawa khususnya Yogyakarta.

Adanya penyelenggaraan Uyon-Uyon Hadiluhung dan menampilkan tari Bedhaya Sapta jelas terdapat identitas budaya yang dirangkum dari teori dalam berita Keraton Yogyakarta Hadirkan Bedhaya Sapta pada Puncak Peringatan Sewindu UU Keistimewaan yang diterbitkan oleh Kratonjogja.id adalah budaya yang mungkin jarang didengar oleh orang-orang khususnya masyarakat Yogyakarta masih berkembang dan tetap diajarkan kepada penari-penari Keraton. 

Hal tersebut menjadi sorotan bagi kita terutama kaum milenial yang terbawa oleh zaman, untuk melestarikan dan dijaga keutuhan dari segi makna dan pola tarinya supaya tidak hilang atau musnah karena arus globalisasi yang sangat cepat dan pesat. Identitas budaya juga berarti bahwa budaya memiliki ciri khas, dapat disimpulkan tarian khususnya di Keraton Yogyakarta tidak lepas dari alat musik gendhing dimana merupakan peninggalan bersejarah bagi masyarakat Jawa. 

Dilansir dari Kratonjoga.id, Sri Sultan Hamengku Buwono X memberikan apresiasi atas terselenggaranya agenda tersebut. Sultan mengatakan bahwa gelar seni yang menampilkan Bedhaya Sapta dan Beksan Bandabaya, dapat menggambarkan soliditas kepemimpinan DIY. "Restrukturisasi budaya menjadi dasar kebangkitan perspektif baru. Budaya Yogyakarta dapat berkembang dengan menanggalkan dan meninggalkan yang semestinya dibuang agar makin baik. 

Selain itu, mengusung norma baru menuju normal baru untuk Indonesia baru. Sebab, penyelenggaraan budaya menjadi keniscayaan sejarah menghadapi masa depan yang kompleks," ujar Ngarsa Dalem. Dengan adanya pernyataan seperti itu, kita patut bangga dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X karena beliau membangunkan atau menghidupkan budaya-budaya Yogyakarta yang mulai terasingkan atau bahkan terkikis oleh perjalanan waktu yang semakin canggih. Sehingga kita sebagai warga asli Yogyakarta maupun wisatawan hendaknya menghargai atas peninggalan budaya yang sangat kental di Yogyakarta salah satunya tari Bedhaya Sapta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun