Mohon tunggu...
Gabriela DeaWahyu
Gabriela DeaWahyu Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswi UAJY

Mahasiswi Ulmu Komunikasi 2019

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Budaya "Rewang", Untuk Apa?

13 Oktober 2020   00:15 Diperbarui: 13 Oktober 2020   00:20 1426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Manusia hakikatnya dilahirkan seorang diri. Seiring berjalannya waktu dalam perkembangan dan perjalanan hidup manusia harus hidup berdampingan dengan orang sekitarnya. Sejak lahir, manusia sudah lahir berhubungan dengan manusia lainnya. Manusia dilahirkan tidak berupa fisik semata, tetapi juga akal pikiran yang dimanfaatkan untuk mencari dan mencukupi kebutuhan yang diperlukan dalam mengemban hidup.

Awal mula manusia sudah mengenal lingkungan dalam keluarganya, sehingga berkembang di lingkugnan sekitar keluarganya. Hal itu dimulai dari masyarakat lingkup terkecil hingga lingkup yang lebih luas, seperti sekolah dan dunia kerja. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia mulai mengenal berbagai macam pengalaman, kebiasaan, tradisi ataupun kebudayaan. Berbagai pengalaman dan tradisi, secara tidak langsung manusia menyadari bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri atau makhluk sosial. Sehingga disinilah fungsi tradisi, adat atau kebudayaan sebagai perekat antar warga sekaligus upaya pemeliharaan kerukunan antar umat beragama.

Dalam dimensi budaya Hofstede terdapat budaya individualis dan kolektivis. Budaya individualis seseorang akan memiliki sifat independen, yang merupakan lawan dari saling bergantung sebagai anggota suatu kelompok. Sehingga individualis terdapat kesenjangan sosial. Sedangkan dalam budaya kolektivis terdapat budaya dimana seseorang sejak lahir hingga seumur hidupnya diintegrasikan ke dalam kelompok dan sering dijumpai dalam keluarga besar. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki budaya kolektivis sehingga masyarakatnya memilih untuk lebih mementingkan kebutuhan kelompoknya.

Budaya "Rewang" adalah salah satu tradisi masyarakat Indonesia yang sudah dilakukan sejak lama sebagai salah satu cara membantu keluarga atau tetangga yang sedang mengadakan perayaan pesta, lelayu maupun pesta adat dimana membutuhkan tenaga bantuan untuk mengurus konsumsi. Sehingga "Rewang" merupakan dimensi budaya kolektivis yang mementingkan kepentingan kelompok. "Rewang" merupakan kearifan lokal dalam membangun solidaritas dan integrasi sosial masyarakat. Sehingga budaya tersebut sangat perlu dipertahankan sehingga menjadi tradisi turun menurun.

Menurut Kluckhohn dan Strodbeck, terdapat lima nilai dalam kebudayaan yaitu : soal makna hidup manusia, makna dari hubungan manusia dengan alam, persepsi manusia mengenai waktu, masalah makna dari pekerjaan, dan orientasi relasional atau hubungan manusia dengan sesama manusia. Dalam orientasi relasional dapat disimpulkan bahwa budaya "Rewang" juga membangun relasi dengan tetangga atau orang sekitar yang ikut membantu demi kelancaran acaranya. Artinya penting bagi setiap manusia mengenai hidup saling membantu, tolong menolong, gotong royong, dan lain-lain. Hal itu sangat penting karena sangat mempengaruhi kehidupan manusia selanjutnya dan tentu saja budaya yang akan secara tidak langsung akan terus berlanjut. Maka jangan menjadi individu yang sok pinter atau sok jago, karena disisi lain teman maupun orang lain juga akan menjadi alasan kenapa kamu bisa hidup dan dapat mempertahankan budaya "Rewang" supaya tidak mati oleh berkembangnya teknologi dimana dengan mudah mengakses pesan makanan dalam partai besar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun