Dari sisi gender, teori power dapat dikaji dalam melihat posisi perempuan terkait formulasi dan implementasi kebijakan penanganan COVID-19 di Indonesia. Kekuasaan sebagai sebuah fungsi akan berjalan optimal jika penguasa memiliki pengetahuan tentang perempuan sebagai salah satu konstituennya. Focault mengutarakan konsep kekuasaan sebagai satu dimensi dari relasi, di mana ada relasi, di sana ada kekuasaan (Best & Kellner, 2003).
Menurut Foucault, kekuasaan tidak dipandang sebagai suatu hal yang negatif, bukan sesuatu yang merupakan institusi atau struktur, tetapi merupakan situasi strategis kompleks dalam masyarakat. Oleh sebab itu, demografis masyarakat juga perlu diperhatikan bagi penguasa dalam menerapkan kebijakan (Kamadi, 2020). Dalam hal penerapan kebijakan penanganan COVID-19, para pemegang kekuasaan perlu memperhatikan dampak yang ada secara strategis, dimana gender merupakan salah satu pertimbangan yang perlu diperhitungkan.
Berdasarkan hasil survei daring Komnas Perempuan periode April sampai Mei 2020 yang diikuti 2.285 orang laki-laki dan perempuan, terdapat 10,3% responden mengaku hubungan dengan pasangannya semakin tegang sejak pandemi COVID-19 (Ridhoi, 2020). Berdasarkan angka tersebut, sebesar 12% merupakan pasangan yang telah menikah. Kekerasan berbasis gender rawan terjadi di masa isolasi pandemi. Berdasarkan data Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, terdapat 892 pengaduan langsung hingga Mei 2020, angka ini setara dengan 63% dari total pengaduan sepanjang 2019 (Ridhoi, 2020).
Perempuan yang memiliki peran strategis sebagai bagian dari penanganan pandemi COVID-19 berbasis komunitas justru memiliki angka kekerasan sebesar 3.602 kasus di ranah komunitas. Pada bulan Juli 2020, total kasus kekerasan terhadap perempuan selama pandemi adalah sejumlah 14.719. Kasus tersebut terjadi di tiga kategori, ranah personal sebesar 75,4% atau 11.105 kasus, ranah komunitas 24,4% atau 3.602 kasus, dan ranah negara 0,08% atau 12 kasus (Safitri, 2020).
Pandemi COVID-19 memiliki dampak tersendiri bagi perempuan. Akses untuk kebutuhan umum hingga akses untuk kesehatan reproduksi akan lebih sulit untuk dijangkau. Foucault memandang kekuasaan sebagai sebuah relasi yang beragam dan tersebar seperti jaringan, yang mempunyai ruang lingkup strategis. Namun sayangnya, keterbatasan yang terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa jaringan terhadap akses perempuan masih minim. Sejak pandemi berlangsung, perempuan rentan kehilangan mata pencaharian sehingga terpaksa menjadi tulang punggung keluarga.
Desakan untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sebagai perlindungan perempuan dari sisi hukum belum juga direspon oleh pemerintah dan DPR. UU Cipta Kerja merupakan salah satu agenda yang lebih diutamakan dan telah disahkan bulan Oktober lalu. Ketua Badan Legislasi DPR, Supratman Andi Agtas, dalam pemaparannya di rapat paripurna menjelaskan, RUU Cipta Kerja dibahas melalui 64 kali rapat sejak 20 April hingga 3 Oktober 2020 (Nugroho, 2020).
Pembahasan mengenai RUU PKS justru belum diperbincangkan lagi. Komnas Perempuan telah mendesak pemerintah dan DPR untuk mengembalikan RUU PKS ke dalam prolegnas. Saat ini, memang telah terdapat protokol penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di masa pandemi yang diterbitkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, namun dalam jangka waktu panjang, penulis menilai bahwa diperlukan kebijakan yang lebih untuk menjaga hak-hak perempuan.
Di masa pandemi ini, peningkatan kasus pasien COVID-19 tidak sebanding dengan jumlah perawat yang 71% didominasi oleh perempuan. Selain itu, pekerjaan lain yang didominasi oleh perempuan seperti resepsionis, customer service, dan bidang marketing juga rentan berinteraksi dengan orang secara langsung. Di masa pandemi juga, banyak perusahaan dan juga organisasi berkendala dalam menjalankan kegiatannya. Layanan profesional yang dapat membantu kelompok rentan dalam mencari perlindungan sempat dihentikan dan dialihkan secara online, dimana tidak setiap orang mampu mengakses hal tersebut.
Menurut United Nations Population Fund, memahami ketidakadilan gender menjadi kunci untuk membangun kepekaan adanya potensi peningkatan risiko kekerasan berbasis gender dalam situasi bencana atau pandemi saat ini (Nadia, 2020). Pandemi yang belum berakhir mengharuskan pemerintah untuk semakin strategis dengan memperhatikan sisi gender dalam pengambilan kebijakan ke depannya. Peran serta masyarakat juga menjadi kunci dalam hal perlindungan perempuan di masa pandemi COVID-19.
Referensi:
Best, Steven & Kellner, Douglas. (2003). Teori  Postmodern:  Interogasi  Kritis. Malang: Boyan Publishing.