Cerita horor
Judul: "Penghuni lama di kos baruku"
Karangan: Gabriel Kukuh
Aku nggak pernah percaya sama cerita-cerita horor. Buat aku, semua itu cuma imajinasi orang yang suka nyari sensasi. Tapi malam itu... segalanya berubah.
Jadi, ceritanya begini. Aku baru pindah ke kosan baru di daerah yang nggak akan aku sebutin. Kosannya murah banget, lokasinya di ujung gang kecil yang jarang dilewatin orang. Ibu kosnya baik, kamarnya luas, cuma ya... auranya agak nggak enak. Tapi siapa peduli? Yang penting hemat, kan?
Malam pertama, aku sibuk beres-beres. Pas lagi naro-naro barang, aku denger suara ketukan pelan dari jendela. Waktu itu udah jam 11 malam. Siapa juga yang bakal main ketuk-ketuk di jam segitu? Tapi aku tetep cek. Pas aku buka tirai, nggak ada apa-apa. "Ah, mungkin angin," aku ngomong ke diri sendiri, berusaha nyantai.
Aku balik lagi ke kamar, terus lanjut beberes. Baru juga lima menit, suara ketukan itu muncul lagi. Kali ini lebih keras. "Tok... tok... tok." Aku langsung merinding. Perlahan aku jalan ke arah jendela, sambil bawa sapu buat jaga-jaga. Aku buka tirainya pelan-pelan, dan... kosong lagi.
Aku mulai ngerasa nggak enak. Tiba-tiba lampu kamar kedip-kedip, dan... mati total. Gelap gulita. Sumpah, aku langsung panik. Aku ambil HP buat nyalain senter. Tapi pas aku nyorot ke arah pintu, ada sesuatu yang bikin aku hampir jatuh.
Di depan pintu, ada bayangan hitam berdiri. Tinggi, kurus, dan kepalanya miring nggak wajar.
"Gak mungkin... aku lagi halu, ini pasti karena capek," aku gumam sambil mundur pelan-pelan. Tapi bayangan itu makin mendekat.
Tiba-tiba, suara berbisik muncul dari belakangku. "Kamu gak sendiri di sini..."
Aku langsung lari keluar kamar tanpa mikir dua kali. Pas sampai luar, ibu kos lagi duduk di ruang tamu, santai banget. Aku cerita sambil ngos-ngosan, tapi dia cuma senyum tipis.
"Namanya juga rumah tua, Nak. Biasa ada 'penghuni lama'. Mereka ramah kok, asal kamu nggak ganggu."
Ramah apanya?! Aku langsung nginep di rumah temen malam itu. Tapi anehnya, pas aku cerita, dia malah bilang, "Oh, lo kos di situ? Gue kira udah kosong bertahun-tahun..."
Lho, terus yang aku temuin tadi siapa?
____&____
Setelah malam neraka itu, aku akhirnya balik lagi ke kosan. Bukannya aku berani, tapi ya gimana, aku nggak punya tempat lain buat tinggal. Kosan temen udah penuh, dan aku nggak cukup duit buat cari tempat lain. Jadi, dengan modal doa seadanya, aku masuk lagi ke rumah itu.
Siang harinya, aku berusaha cari jawaban. Aku tanya-tanya tetangga sekitar. Kebanyakan cuma geleng-geleng kepala pas aku sebutin alamat kosanku. Tapi ada satu bapak tua, mangkal di warung rokok depan gang, yang akhirnya buka mulut.
"Oh, kosan itu? Dulu yang punya namanya Bu Ratmi. Orangnya baik, sering bantu warga sekitar. Tapi anaknya..." Dia berhenti, seolah-olah ragu buat lanjut.
"Anaknya kenapa, Pak?" Aku makin penasaran.
"Katanya sih, anaknya nggak normal. Sering teriak-teriak malem-malem. Trus suatu hari, dia hilang gitu aja. Orang-orang bilang... ah, sudahlah. Mending kamu pindah aja, Nak."
Aku pulang ke kosan dengan kepala penuh tanda tanya. Anak yang hilang? Terus siapa yang ketok-ketok jendela aku? Semakin aku mikir, semakin nggak enak perasaanku.
Malamnya, semuanya *terulang lagi*. Ketukan itu muncul tepat jam 11 malam. Kali ini lebih keras, lebih cepat. "Tok-tok-tok-tok!" Aku langsung nyalain HP buat rekam suara, tapi begitu aku mendekat ke jendela, suara itu berhenti. Sunyi. Hening banget, sampai aku bisa denger detak jantung sendiri.
Aku nggak tahan lagi. Dengan gemeteran, aku buka tirai jendela. Dan di sana... aku ngeliat wajah pucat, dengan mata kosong, melotot ke arah aku dari luar jendela. Rambutnya panjang, acak-acakan, dan mulutnya menganga seperti mau teriak.
Aku langsung mundur jatuh ke lantai, HP aku terpental. Pas aku coba lari keluar, pintu kamar nggak bisa kebuka, kayak ada yang nahan dari luar. Aku teriak sekenceng-kencengnya, tapi nggak ada yang dateng.
Tiba-tiba, suara berbisik itu muncul lagi, tapi kali ini lebih jelas. *"Mas, mau temenan sama aku nggak..."*
Aku langsung baca doa apa aja yang aku inget. Dan anehnya, tiba-tiba suara itu hilang. Lampu nyala lagi. Pintu kamar kebuka sendiri. Tapi pas aku liat keluar... nggak ada siapa-siapa.
Esok paginya, aku nekat datengin ibu kos. Dengan suara gemeter, aku cerita semuanya. Tapi reaksi dia bikin aku makin merinding.
"Mas, saya udah kasih tau, kan? Penghuni lama di sini nggak suka diganggu. Coba aja bawa bunga atau makanan kecil ke kamar. Dia cuma mau ditemenin."
Serius? Aku harus kasih sesajen buat makhluk itu? Aku nggak tau lagi mau ngapain. Tapi yang jelas, aku mulai sadar... rumah ini bukan cuma tempat tinggal aku. Ada 'mereka' juga di sini.
Dan mereka nggak akan pernah pergi.
______&______
Setelah kejadian malam itu, aku mulai melakukan saran ibu kos. Tiap malam, aku taruh bunga dan makanan kecil di sudut kamar, tempat yang menurutku paling "dingin". Anehnya, gangguan itu mulai berkurang. Nggak ada lagi suara ketukan, nggak ada bisikan, nggak ada wajah pucat yang ngintip dari jendela. Aku mulai merasa lebih tenang, meskipun tetap nggak nyaman tinggal di sana.
Tapi malam itu, semuanya berubah lagi.
Aku baru pulang kerja, capek banget, dan langsung tidur tanpa sempat taruh sesajen. Tengah malam, aku kebangun karena dengar suara langkah kaki di lantai kamar. *Ceklek... ceklek...* Pelan, tapi jelas. Aku langsung melek. Sinar bulan dari jendela bikin kamar remang-remang. Dan di ujung kamar, aku melihat bayangan itu lagi. Tinggi, kurus, dengan kepala miring nggak wajar.
Tapi kali ini, dia nggak cuma berdiri diam. Perlahan, dia mendekat ke tempat aku tidur.
"Kenapa nggak bawa bunga? Aku lapar..." Suaranya pelan, serak, tapi terdengar jelas di ruangan itu.
Aku mau teriak, tapi suara nggak keluar. Mau lari, tapi badan aku nggak bisa gerak. Bayangan itu sekarang berdiri tepat di samping tempat tidur. Aku bisa lihat wajahnya: mata cekung, kulit pucat, dan senyum menyeramkan yang nggak akan pernah aku lupa.
Tiba-tiba, pintu kamar aku kebuka sendiri. Aku kira aku bakal selamat, tapi yang masuk adalah ibu kos.
"Oh, ternyata kamu yang bikin dia marah lagi," katanya dengan nada santai.
Aku cuma bisa melotot, bingung campur takut. "Bu... Bu... apa-apaan ini?" Aku akhirnya berhasil ngomong, meski suara gemetar.
Ibu kos cuma senyum tipis. "Kamu tau nggak, Nak, kenapa kos ini murah banget? Karena yang bayar bukan cuma manusia. Penghuni lama di sini juga butuh teman, biar nggak kesepian."
Aku langsung lemas. "Maksud Ibu, apa?"
Dia mendekat sambil nyalain lilin kecil yang entah dari mana munculnya. "Kamu harus ngerti. Dia nggak akan ganggu kalau kamu jadi temannya. Teman *selamanya.*"
Seketika bayangan itu terjun ke arahku, menindih badan dengan kekuatan luar biasa. Aku teriak sekuat tenaga, tapi tiba-tiba semuanya gelap.
***
Aku kebangun di kamar yang sama, tapi ada yang aneh. Ruangan itu sekarang penuh debu, dindingnya penuh retakan, dan cahaya dari jendela nggak lagi masuk. Semua terlihat suram dan dingin. Aku coba buka pintu, tapi nggak bisa. Ketika aku lihat ke jendela, nggak ada pemandangan luar. Hanya kegelapan.
Dan di sudut kamar, bayangan itu duduk sambil tersenyum. Tapi kali ini, dia bukan lagi ancaman. Dia kayak... teman lama.
Ibu kos tiba-tiba muncul, tapi dia nggak ngomong ke aku. Dia ngomong ke orang lain yang baru masuk kamar, seorang cowok yang kelihatan bingung, sambil nenteng koper.
"Selamat datang, Mas. Ini kamarnya. Jangan lupa tiap malam bawain bunga, ya."
Aku cuma bisa terdiam di sudut ruangan, menyadari kenyataan mengerikan: aku sekarang adalah bagian dari "penghuni lama."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H