Direktur Eksekutif Perkupulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni seperti yang diberitakan Kontan Agustus tahun lalu mengatakan jumlah pemilih muda dan mula mencapai kisaran 79 juta atau lebih dari 50% dari total pemilih. Dalam kategori ini, usia yang dimaksud adalah mereka yang berusia 17 sebagai ambang batas bawah usia pemilih hingga usia 35 tahun. Data serupa juga dipaparkan Direktur Program Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) Sirajudin Abbas. Menurutnya pada pemilu tahun ini pemilih berusia 17-38 tahun mencapai 55 persen dari jumlah total pemilih. Data-data diatas sebenarnya kurang sinkron bila dibandingan dengan Daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2019 yang ditetapkan KPU sebanyak 192 juta jiwa. Namun angka yang diajukan oleh PERLUDEM Dan SMRC tetap bisa menggambarkan komposisi pemilih. Bahwa anak muda dan pemilih muda punya porsi yang besar pada proses demokrasi.
Komposisi usia tentu mempengaruhi preferensi politik dan ketersinggungan dengan masalah sehari-hari. Tiap hari masyarakat janji, program serta visi misi yang terus direpetisi para caleg juga capres cawapres. Diantara keruwetan hidup ini, ada beberapa problem yang menjadi "favorit" para calon. Ekonomi, pendidikan, atau layanan kesehatan misalnya. Persoalan-persoalan ini tidak salah, karena sungguh mendasar dan mengakar. Namun bila menatap kembali jumlah potensian yang diduduki pemilih muda, para caleg juga capres cawapres seyogyanya juga memikirkan formula yang baik untuk segmen ini. Satu hal penting lagi, jangan sampai anak muda hanya dianggap sebagai sumber suara yang pasif. Titi Anggraeni kembali mengatakan kelompok milenial ini memiliki adaptasi politiknya yang agak berbeda dengan kelompok umur yang lebih tua. Mereka lebih dinamis dan lebih cepat berubah persepsi politiknya, terutama sangat terpengaruh oleh lingkungan. Kelompok usia ini bisa saja cepat berubah menjadi apatis terhadap proses politik. Penyebabnya adalah anggapan bahwa dinamika politik itu tidak menarik dan jauh dari keseharian mereka. Ini menunjukkan ada gap yang dirasakan kelompok usia muda pada kebijakan-kebijkan negara, padahal mereka lah masa depan.
Menyadari hal ini calon anggota DPD DIY Bambang Soepijanto berusaha merangkul kelompok usia muda. Bambang memulai usahanya dengan kampanye yang kreatif, tidak bersik namun berisi. Bambang menggunakan social media untuk menyebar luaskan gagasan serta komitmennya untuk ngayomi, ngeyemi dan ngayani masyarakat, terutama wong cilik. Bukan berita bohong atau kebencian yang disebarkan ketua APKINDO ini. Bambang yang juga insinyur utama justru mengajak masyarakat Jogja untuk ber24ma Cintai Jogja. Angka 24 punya symbol khusus bagi Bambang, mengingat nomor urutnya dalam surat suara adalah 24.
Selain spanduk dan baliho yang jamak dilakukan caleg lain, Bambang Soepijanto juga melakukan kampanye gaya baru melalui info grafis lewat Instagram, kontes foto, video Bersama masyarakat di YouTube juga kesempatan bagi rakyat untuk mengungkapkan rasan-rasan lewat Facebook. Bambang ingin sebisa mungkin dijangkau dan menawarkan sesuatu yang berbeda, terutama juga anak muda. Menyoal ini, Bambang Soepijanto cukup memahami problema anak muda Jogja masa kini : UMR DIY yang rendah, ruang-ruang kreatif yang accessible, lalu lintas, transportasi umum, kekerasan "klithih", bullying, bisnis startup hingga usaha kreatif. Bisa dibilang, Bambang Soepijanto adalah satu-satunya caleg DPD DIY yang mendengarkan aspirasi pemuda untuk membangun Jogja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H