Dalam hitungan hari rakyat Indonesia akan memilih pemimpin baru. Panasnya gelanggang politik yang merembet bak bara api ke akar rumput (semoga) akan segera reda. Ini terjadi karena pada pemilu ini Indonesia hanya dihadapkan pada dua calon presiden dan wakil. Ditambah kontestasi calon anggota legislatif DPR, DPRD dan DPD ditingkat lokal.
Ditengah panasnya suhu politik, gerakan poros tengah menguak. Golput alias golongan putih menjadi pilihan yang mulai dianut secara terbuka oleh banyak orang. Mereka yang memilih golput punya berbagai alasan, utamanya adalah ketidakpuasan atas sistem dan calon yang ada. Utamanya pada ranah ideologis. Visi misi dan track record calon yang tidak pas dengan aspirasi.
Golput adalah istilah yang diangkat media, sementara ilmu politik menyebutnya dengan non-voting. Gerakan non-voting bisa dikategorikan sebagai bentuk protest yang dalam dialektika konflik disebut konflik tertutup. Seperti disampaikan diatas, ketidakpuasan pada kandidat, partai, lembaga negara atau sistem politik menjadi alasan utama. Dalam prakteknya golput dilakukan dengan beberapa cara (blank and spoiled ballots).
Beberapa pihak memilih absen pada hari pelaksanaan pemilu dan menggugurkan hak pilihnya. Disisi lain tidak sedikit yang tetap datang ke TPS untuk merusak surat suara, entah dengan merobek, mencoret/mencoblos lebih dari satu atau mencoret/mencoblos bukan pada gambar alias pada kertas putih.
Ada pula yang golput bukan atas dasar ideologis. Mereka yang terhambat karena urusan teknis dan administrasi. Entah karena tidak tinggal didomisilinya lagi, sakit, melaksanakan tugas yang tidak bisa ditinggalkan atau yang ketiduran! Ya, meski terasa konyol toh urusan-urusan teknis macam ini sangat bisa terjadi.
Kembali pada golput ideologis, ada sejumlah pemaknaan asal muasal istilah ini. Istilah golput bisa merujuk pada coblosan diluar gambar partai/nama calon. Secara historis istilah ini lahir di Indonesia sejak tahun 1970an. Kala itu beberapa aktifis mahasiswa mengkritisi sistem negara dan pemilu yang semu. Semua telah "diatur" untuk kembali melanggengkan kekuasaan satu pihak.
Adalah Arif Budiman dan kawan-kawannya: Â Imam Walujo, Husin Umar, Marsilam Simandjuntak, Asmara Nababan, dan Julius Usman membuat semacam simbol golput bikinan seniman Balai Budaya. Tirto menyadur Majalah Ekspres 14 Juni 1971 simbol itu berbentuk segilima, mirip dengan simbol AURI, IPKI, dan Golkar.
Namun, di tengahnya mirip sebuah lukisan abstrak tanpa coretan apa-apa. Mereka lantas memasang pamflet simbol tersebut di sejumlah titik di Jakarta. Lantas, Partai Putih, yang tanpa tanda gambar bermetamorfosis menjadi golongan putih yang memiliki simbol gambar segilima hitam di atas dasar putih polos.
Di masa ini gerakan golput kembali ramai diperbincangkan. Riuhnya fanatisme pada satu calon buat beberapa pihak sudah pada level memuakkan, dan tak segan-segan mereka menunjukkan pilihan golputnya. Secara yuridis KPU dan lembaga negara lain tidak melarang seseorang untuk golput atau abstain, namun undang-undang melarang individu/badan seseorang untuk menyebabkan orang lain kehilangan suara atau mengajak orang lain golput.
Beberapa pihak bahkan bereaksi lebih keras. Tanggapan ini bisa lebih lengkap dan kontekstual bila ditambah premisnya. Tidak memilih memang hak masing-masing individu, namun adilkah dilakukan bila golput akibat tidak mau melek politik? Â rekam jejak, visi misi atau profil caleg dan atau capres cawapres? Ditengah gelontoran dana yang tidak sedikit, curahan pikiran dan tenaga untuk menciptakan pergantian pemimpin negara yang semakin baik, adilkah kita bila memilih abai begitu saja?
Masyarakat sudah jauh diuntungkan dengan kehadiran teknologi dan pihak-pihak ketiga yang menyediakan data profile calon. KPU juga telah memfasilitasi kampanye capres dan cawapes lewat empat putaran debat. Terlepas dari isinya, ini adalah usaha negara memfasilitasi warganya untuk semakin mudah menunaikan hak dan kewajibannya.