Pekan lalu, sebuah aksi vandalisme atau perusakan secara sengaja terhadap benda milik public atau pribadi terjadi. Bukan main-main, yang menjadi obyek sasaran adalah relief Monumen Serangan Umum 1 Maret di kompleks Museum Banteng Vredeburg. Meski monument tersebut dipagari dan tidak selalu dibuka, ada saja cara pelaku mengakses relief-relief malang tersebut. Padahal menurut hukum seseorang yang secara melawan hukum menghancurkan, merusak, menghilangkan, atau mengakibatkan tidak dapat dipakainya sarana dan prasarana Pemajuan Kebudayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).Â
Entah apa yang ada dibenak para pelaku vandalisme. Cat semprot warna-warni dengan jejak telapak tangan menempel diatas wajah para pejuang SO 1 Maret. Monumen ini dibangun untuk memperingati serangan tentara Indonesia terhadap Belanda pada tanggal 1 Maret 1949. Pasca kemerdekaan pada Agustus 45, Belanda tidak begitu saja menyerahkan koloni yang telah berabad ada dalam genggamannya. Beribu cara dan siasat disusun, lewat perundingan hingga pertempuran fisik. Sebagai ibu kota republic muda Indonesia, Belanda mencoba menggempur Jogja. Belanda percaya takluknya ibu kota negara adalah symbol kekalahan negara. Lewat pertempuran 6 jam, Yogyakarta dan Republik Indonesia bisa dipertahankan. Pemerintah mengabadikan pertempuran itu lewat sebuah monument yang mulai diresmikan tahun 1973.
Salah satu pemerhati budaya dan keistimewaan Yogya, Bambang Soepijanto menyesalkan kejadian tersebut. Bambang yang juga caleg DPD RI nomer 24 untuk dapil DIY bertekad untuk merawat keistimewaan Yogya lewat pembangunan yang sesuai karakter. Ini berarti kreatifitas warga DIY dapat tersalur dengan cara-cara yang lebih mulia.
Coretan di tembok atau bangunan sebetulnya bisa amat berfaedah. Dunia seni mengenal mural dan graffiti. Sepintas mirip, kedua aliran seni ini punya sifat yang berbeda. Dikutip dari polka.id, mural adalah bentuk seni lukis atau menggambar di atas media dinding atau tembok yang sifatnya permanen. Pilihan catnya beragam: cat tembok, kayu dan lain sebagainya. Tidak selalu tulisan, mural bersifat lebih bebas. Bentuknya bisa gambar realis atau abstrak. Mural juga bisa berseri, terdiri dari bagian-bagian cerita, misalnya isu-isu sosial. Sementara graffiti lebih condong pada seni kata atau tulisan. Pelukisnya disebut bomber. Para bomber menggunakan cat semprot atau yang bisa dikenal orang Indonesia sebagai pylox. Sama seperti mural, graffiti juga sering digunakan sebagai media pengkritik. Namun satu ciri khas graffiti adalah adanya Bahasa symbol yang hanya dimengerti satu kelompok atau gank.
Graffiti dan mural tidak selalu lekat dengan kegiatan vandalisme sampai kriminalitas. Bila dilakukan di tempat yang tepat justru akan menambah nilai keindahan. Banyak graffiti dan mural yang menghiasi sudut-sudut Yogya. Indah, unik dan keratif. Graffiti dan mural juga menjadi spot atau tempat foto yang photogenic. Seakan-akan gallery seni yang bebas diakses semua orang kapan saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H