Seruas jembatan yang lebarnya hanya 3 meter itu harus dibagi dua. Tak masalah jika yang melintasi hanya pejalan kaki atau satu dua motor dan mobil, kenyataanya saban pagi dan sore hari jembatan ini dilewati puluhan kendaraan tiap menitnya. Jembatan di Jalan Pandega Marta ini memang amat strategis karena letaknya berada dipersimpangan antara Jalan Kaliurang dan Jalan Monjali. Jalan ini juga menjadi jalan alternated bagi pengguna jalan yang hendak pergi ke Jalan Kaliurang atau Jalan Monjali dan tak mau terkena lampu merah.
Kepadatan dan nilai strategis Jalan Pandega Marta belum termasuk banyaknya jasa dan bisnis yang dibuka: mulai dari laundry, warung makan, kafe, took pakaian, hingga kos-kosan. Apa mau dikata, lama-kelamaan keberadaan jembatan itu tak lagi jadi alternative, namun jalan utama terlebih lagi penutupan perempatan Kentungan.
Semua pengendara mesti sabar mengantri untuk lewat, antriannya bahkan sudah dimulai sejak 2 meter sebelum jembatan. Beruntung ada sosok-sosok cekatan pengatur lalu lintas. Beberapa pemuda bersenjata peluit tiap sore berjibaku mengurai kepadatan dengan memberlakukan buka tutup jalan. Jalan yang mau tak mau mesti ditempuh saking timpangnya jumlah kendaraan dan lebar jalan. Sesekali mereka menerima uang tip dari pengendara, seribu dua ribu sebagai ucapan terimakasih.
Publik kerap menjuluki orang-orang ini sebagai Pak Ogah. Nama ini diadopsi dari serial televisi lawas tahun 1980an yang kini di reboot, Si Unyil. Salah satu boneka dalam serial ini bernama Pak Ogah. Berkepala gundul licin, tokoh Pak Ogah adalah seorang tunakarya alias pengaguran yang gemar nongkrong di pos ronda.
Untuk menyambung hidupnya Pak Ogah mengandalkan belas kasih orang dengan meminta "cepek" atau seratus rupiah. Jika disuruh bekerja ia akan menjawab Ogah atau enggan. Dari sini lah asal nama Pak Ogah muncul, istilah Cepek akhirnya dipakai untuk mempredikati orang-orang tadi sebagai Polisi Cepek. Mengatur jalan dengan imbalan uang.
Namun apakah mas-mas Polisi Cepek ini ogah bekerja? Saya rasa julukan ini tak lagi pas dengan kondisi yang terjadi. Toh orang-orang ini tak saklek meminta imbalan, pekerjaan mereka sebatas sukarela dan bahkan tak tebayang bagaimana arus lalu lintas jika taka da mereka.
Turunnya sipil ke jalan adalah tanda absennya pemerintah atau otoritas setempat. Kala aturan positif negara tak hadir, lantas masyarakat memberlakukan aturannya sendiri. Dalam hal ini, masyarakat sekitar lah yang membuat aturan berupa system buka tutup jalan atau pengalihan arus.
Usaha pemerintah untuk terus membenahi tata kota dan lalu lintas memang patut diapresiasi, namun yang perlu dikritisi adalah penegakan peraturan tentang rancangan pembangunan. Jangan sampai pembangunan tersebut hanya menguntungkan pihak tertentu namun berdampak buruk pada khalayak.
Ruko, pusat perbelanjaan, kafe dan aktifitas usaha lainnya sudah seharusnya menyediakan lahan parkir sehingga tidak menyita badan jalan atau trotoar. Demikian juga perawatan jalan, mana-mana saja yang memang perlu diperlebar atau diperbaiki. Akan lebih baik lagi jika aparat berewenang ikut menerjunkan anggotanya untuk menata lalu lintas.
Poin-poin seperti itu yang mesti dipikirkan oleh calon wakil rakyat mendatang, bagaimana menata kota sesuai dengan konteks kewilayahan. Hal yang hendak diperjuangkan sosok Bambang Soepijanto, calon anggota DPD RI dari daerah pemilihan DIY. Bambang akan maju mewakili DIY dengan nomor urut 24.
Tak Cuma siap Ngayomi, Ngayemi dan Ngayani masyarakat, Bambang Soepijanto juga punya visi besar untuk menjaga kesitimewaan melalui pembangunan yang sesuai karakteristik wilayah.