Mohon tunggu...
G A Siswoko
G A Siswoko Mohon Tunggu... -

the free man is a man who live in truth

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pada Suatu Masa

3 Maret 2014   22:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:16 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada suatu masa disuatuwaktu yang berada di luar jangkauan ingatan manusia. Pada saat dimana dunia berputar begitu lambat dan waktu merangkak pelan, layaknya kadal di tebing terjal. Dan anak-anak manusia berhimpun dalam takjub, mereka-reka siapa menggantung bulan dan menyeret matahari.

Pada saat itu impian adalah kenyataan, karena manusia tak punya alasan bermimpi. Karena mimpi tak pernah muncul dalam jiwa dan pikiran yang bebas.

Ketika itu gandum ditanam untuk dimakan, rumah dibangun untuk didiami dan baju dipintal untuk dipakai. Bukan dijual. Apalagi diperdagangkan.

Angin musim barat datang tanpa pernah terlambat. Dan semua lelaki dewasa adalah suami dari satu istri. Ketika otot terbentuk alami dari usaha mengolah tanah, dan air sungai lebih bening dari kaca. Saat itu bulan ketiga selalu diisi dengan pesta, ketika para pemuda berkumpul, memetik buah badam, daun koka atau ranting rami. Sedang anak-anak sibuk bermain dengan sapi-sapi, tanpa perlu dipaksa menghafal unsur penyusun udara atau penjumlahan rumit tanpa makna.

Saat itu hidup begitu lambat dan bilangan berhenti di angka sepuluh ribu. Tanah dibagi menurut cinta, sedang ternak diberikan dengan Cuma-Cuma. Bukan direbut oleh pedang, atau diperjuangkan dengan berdarah-darah.

Waktu itu wanita menaruh hasil panen di punggungnya, lantas memasak sup kacang tanpa menggerutu. Semua berjalan lambat, lambat. Musim dingin harus melewati lautan teduh untuk mencapai tanah utara, sebelum berputar dan menyapu desa.

Dimasa itu, tanah, udara dan air digunakan tanpa harus dimiliki. Roti, baju dan rumah dibuat bukan untuk dijual. buat bukan untuk dijual.

Tetapi ketika bilangan mulai membengkak dan angka mengusai kehidupan, maka segala yang ada dicoba untuk ditaksir. Air dihitung dan pohon juga, begitupula dengan gandum dan langkah-langkah kaki di atas tanah. Lalu kemudian anak-anak manusia jatuh ke dalam malapetaka, menuliskan angka pada secarik kertas. Dan duniapun bersiap merana.

Roti membusuk di toko-toko, karena tak ada yang membeli. Walaupun di belahan lain, jutaan mulut kelaparan.

Rumah dan vila dibangun sia-sia, karena para gembel tak mampu menghuninya. Lalu mati. Terkapar di pinggir kali.

Saat itu dunia mulai berputar lebih cepat, langitpun ditutupi asap kelam dan umpatan sumpah serapah bagai sampah dari mulut-mulut ponggah.

Para lelaki enggan menyapa tanah, dan mulai menjadi suami dari banyak istri. Wanitapun terkurung dalam penjara yang dibuatnya sendiri, bersama gincu, bedak dan bubuk-bubuk beracun. Sedang anak-anak, lebih cepat menua, karena pikiran dijejali nama zat ini itu atau hitungan imajiner yang belum tentu ada manfaatnya.

Saat itulah dunia berputar cepat dan hidup tak lebih dari seratus sebelas tahun. Tanah diperkosa, air dilelang dengan uang, begitupula cinta dan bayi-bayi.

Maka mentaripun bersedih, dan bulang berpikir untuk menjauh. Saat itulah kulihat akhir dunia mendekat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun