Entah sudah berapa kali aku dan warga sekitar berusaha menangkap kera-kera itu. Tapi setiap usaha kami selalu berakhir dengan kegagalan.
Pernah kami menjebaknya dengan perangkap kurungan yang dipasang disalah satu kebun pisang milik warga. Tetapi tak satupun kera-kera itu berhasil tertangkap. Begitu pula jenis perangkap yang lain sepeti jerat tali, lem pohon bahkan menggunakan anjing penjaga sekalipun. Para kera itu selalu berhasil memperdaya kami. Mencuri buah-buahan dikebun kami dan merusak tanaman kami.
“Mungkin itu kera siluman Pak Lurah”, ujar seorang warga padaku ketika kami rapat.
“Ah bapak ini ada-ada saja, mana ada kera siluman”, sahut Mas Ahmad, seorang warga yang sehari-hari bekerja sebagai karyawan kantoran.
“Lho mungkin saja lo Mas. Buktinya kera-kera itu selalu bisa lolos”, bela seorang warga yang lain.
“Walau kera-kera itu berhasil lolos, itu tak membuktikan kalau mereka siluman. Ingat bapak-bapak, kakek nenek kita merambah hutan ini dan mendirikan kampung kita ini dengan usaha dan nalar, bukan dengan mistik”, jawabnya tak mau kalah.
Dan perbincanganpun menjadi agak memanas. Sebenarnya semua ini dimulai dari usul salah seorang warga, Pak Lahor namanya. Ia adalah warga asli tanah ini, jauh sebelum kakek nenek kami mendirikan kampung ini. Pak Lahor yang sehari-hari berjualan daun pisang hutan dan kayu bakar mengusulkan agar diadakan upacara sesaji untuk menolak kedatangan para kera-kera itu. Ia beralasan bahwa kera-kera itu bukan kera biasa, tapi kera siluman.
Tapi beberapa warga yang lain menolak, dengan berbagai alasan. Salah satunya hal itu adalah perbuatan syirik. Dan Mas Ahmad adalah tokoh yang paling lantang dari kelompok ini.
“Baiklah-baiklah. Saya harap bapak-bapak tenang dulu. Rileks saja. Kita dinginkan kepala dulu sejenak”, ujarku sambil membuka penutup piring yang berisi pisang goreng buatan istriku. Dan suasana berangsur tenang kembali. Sebagai Lurah, aku harus pandai pandai menempatkan diri. Walau aku tak setuju kalau kera-kera itu jelmaan siluman, tapi aku juga agak tak senang dengan cara bicara Mas Akhmad.
“Baiklah, mungkin hari sudah terlalu larut bagaimana jika kita cukupkan dulu pertemuan hari ini. Mengingat besok kita harus bekerja”, ujarku membuka pembicaraan yang sempat tertunda.
“Tunggu Pak Lurah. Sebentar, sebelumnya saya minta maaf jika dianggap terlalu lancang. Tapi agar hari ini tidak sia-sia, bagaimana jika setidaknya kita menghasilkan satu saja keputusan?”, potong Mas Ahmad. Padahal sebelumnya semua hampir menyetujui untuk menunda rapat. Bisik-bisik pun kembali terjadi dan suasana kembali memanas. Karena merasa dilancangi akupun angkat bicara.
“Wah Mas Ahmad ini semangat sekali. Maklum darah muda. Mungkin Mas Ahmad punya ide?”, tantangku sinis.
“Ada!”, balasnya tegas. “Kita gunakan racun”.
Semua hadirin terdiam. Kaget. Tapi tak berapa lama kemudian semua mengangguk dan memekik “Setuju!”Memang luar biasa anak muda satu ini.
Rapatpun selesai. Hasilnya, besok seluruh warga akan melumeri pisang dan buah-buahan di ladang-ladang tertentu dengan racun. Mereka berharap monyet-monyet itu segera dapat disingkarkan, dan kehidupan kembali bahagia.
Seusai rapat, Tejo, anakku menghampiriku. Ternyata ia memintaku untuk menemaninya tidur. Dan seperti biasa ia selalu menuntut sebuah sebuah dongeng untuk menemaninya terlelap.
“Wah masak dongeng raksasa lagi?”, protesnya. Tapi iapun akhirnya mendengarkan juga ketika aku berjanji bahwa dongeng yang satu ini berbeda dari yang kemarin. Padahal tetap sama saja. Raksasa, makhluk jahat buruk rupa itu muncul dan membuat kekacauan, lalu datang kesatria dan memberantas mereka. Tak berapa lama Tejopun tertidur. Tapi sebelum terlelap ia bertanya,”Raksasa itu ada tidak, pak?”.
“Ada, dulu, di tanah kakekmu di Jawa”, jawabku ngawur.
Dan esoknya adalah hari yang panjang. Kami semua bekerja-bakti untuk melumeri buah-buahan dan sayuran dengan racun milik Mas Ahmad. Setelah dilumeri, rencananya besok senja baru dipasang sebagai umpan. Sementara itu, gudang Pak Narto dipilih untuk menyimpan buah-buah beracun itu.
Malamnya Tejo minta sebuah cerita lagi. Sebenarnya kesal juga aku. Maka kuceritakan kisah tentang raksasa juga malam ini. Tapi anehnya ia serius mendengarkan.
“Pak Raksasa itu jahat ya?”, tanyanya polos.
“Kata orang-orang sih jahat”.
“Kenapa jahat?”
“Karena mereka suka makan manusia dan menggangu manusia”.
“Oo, begitu. Tapi raksasa itu asalnya dari mana Pak?”
“Mereka sudah ada ditanah Jawa, sebelum kakek nenek kamu datang nak”,
“Aneh?”
“Kenapa”.
“Kenapa mereka dikatakan jahat, padahal mereka adalah penduduk asli. Dan nenek moyang kita cuma tamu. Tapi mereka akhirnya dimusnahkan.”
Aku begitu kaget ketika Tejo mengucapkan kalimat terakhirnya. Entah kenapa tiba-tiba aku teringat monyet-monyet itu. Jangan-jangan para kera itu marah, karena sebagai tamu kami sudah berbuat kurang ajar. Kami bukan hanya merusak hutan mereka dan membatasi ruang gerak mereka, bahkan kami mau memunahkan mereka.
Esoknya, aku bangun kesiangan. Segera kupergi menuju tempat pemasangan umpan beracun. Kulihat para warga mulai sibuk mengumpulkan bangkai-bangkai kera. Mereka terlihat senang sekali. Mereka tidak hanya tersenyum, tapi tertawa begitu kerasnya, hingga gigi taring mereka tampak jelas. Lalu seorang warga melepas bajunya, karena saking gembiranya. Tetapi ternyata badanya dipenuhi bulu-bulu coklat yang lebat. Yang lain tertawa melihatnya, tapi mereka juga melakukan hal yang sama. Bahkan ada yang melompat-lompat dan berayun-ayun pada dahan-dahan pohon. Dan hari itu kami semua kegirangan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H