Mohon tunggu...
G A Siswoko
G A Siswoko Mohon Tunggu... -

the free man is a man who live in truth

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Drama Untuk Kakek

6 Mei 2012   11:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:38 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu hari di bulan April, 1966. matahari bersinar begitu teriknya. Sedang angin panas menyapu jalanan yang kering. Sersan Cokro baru saja akan kembali kekantornya ketika tiba-tiba muncul seorang laki-laki memanggil namanya.
Merasa dipanggil, Sersan Cokro menoleh. Dan sejurus kemudian lelaki itu mengacungkan sebuah pistol dan menembakkannya kearah dada Sang sersan. Sersan Cokropun ambruk. Darah segar merembes membasahi tanah. Lalu lelaki itupun mencoba kabur.
“Berhenti!”, teriak Kapten Mahmud sambil mengacungkan pistolnya. Yang diperintah tak menurut. Maka dengan sigap Kapten Mahmud menembaki pembunuh biadab itu. Tapi pembunuh itu cukup beruntung. Ia mampu lolos dari terjangan timah panas Kapten Mahmud, sebelum akhirnya berlari dan menghilang disudut kota. Ia merasa telah aman.
Tapi Tuhan Maha Kuasa. Tanpa diketahuinya, lelaki itu menjatuhkan sebuah dokumen yang sangat pernting. Sebuah kartu anggota. Ternyata pembunuh itu adalah anggota partai terlarang. Kapten Mahmud segera mengambilnya. Esoknya, seluruh pengikut partai itu ditangkap dan diamankan. Dan kota kembali tentram.
Lalu tepuk tangan membahana, bahkan disertai sorakan tanda kekaguman. “Hidup Ali, hidup Ali!”.
“Wah cerita yang bagus Ali”, puji Pak Tomi.
“Terima kasih Pak”, sahutku
“Ceritamu begitu hidup, imajinasimu luar biasa!”, lanjut Pak Tomi dengan senyum mengembangnya.
“Tapi ini cerita sungguhan pak”, lanjutku kembang kempis. Tiba-tiba ekspresi Pak Tomi berubah.
“Sungguhan katamu?”, ia bertanya padaku.
“Iya pak, ini cerita hidup kakek saya, kakek Mahmud”. Pak Tomi diam sejenak sebelum akhirnya mempersilahkanku duduk. Aku tak bisa membayangkan bagaimana gembiranya kakek ketika tahu ceritanya yang aku bacakan membuat semua kagum.
Begitu sampai rumah, segera kuhampiri kakek dikamarnya. Kuketok perlahan. Tak ada jawaban. Ternyata kakek sedang tidur. Lalu akupun menuju ruang makan. Kuceritakan semua pada ayah dan ibu.
“Benarkan kata ayah, kakekmu itu bukan orang sembarangan. Sudah berapa puluh orang komunis itu ditangkap atau ditembak kakekmu”
“Ayah, Alikan masih kecil” sahut ibuku.
Akupun mengangguk-angguk. “Kata Pak Tomi, akan diadakan pementasan drama. Dan cerita dramanya  kata Pak Tomi mirip cerita kakek”, kataku.
“Benarkan. Gurumu saja terpesona”
Ingin kuberitahukan ini pada kakek, tapi ia sedang tidur, tak enak membangunkannya. Apalagi kondisinya sedang agak buruk.
Esoknya naskah dibagi. Pak Tomi yang menyusunya. Aneh, ceritannya benar-benar mirip cerita Kakek. Hanya beberapa adegan dan nama diganti, seperti Mahmud diganti Sani. Dan Sersan Cokro diganti Baskoro.
Begitu pulang aku langsung mencari kakek. Tapi ternyata kakek sedang kambuh. Ibu membawanya kerumah sakit. Kata ibu kakek harus rawat inap selama sekitar seminggu. Aku sedikit kecewa. Ingin sekali kuceritakan semua pada kakek. Tapi aku tak punya waktu. Setiap pulang sekolah, aku harus berlatih drama yang akan pentas seminggu lagi. Kadang latihannya sampai sore hingga aku sudah sangat letih.
Tapi kesempatan itu akhirnya datang. Pada hari Minggu aku dan ayah menjenguk kakek. Kuiceritakan semua padanya. Termasuk beberapa nama yang diubah oleh Pak Tomi.
“Kamu itu, nama Kakek kan Mahmud Sani. Berarti guru kamu tidak kreatif”, ujar ayahku. Kamipun tertawa. Kecuali kakek.
Bibirnya tertutup rapat, tapi giginya saling bergesekan. Ia seperti sedang menerawang. Lalu tiba-tiba tangan Kakek mencengkram pundakku.
“Siapa nama gurumu?”
“Pak Tomi. Tomi Prawira. Bahkan Pak Tomi juga mengundang kakek untuk melihat drama kami.”
“Oh iya? Katakan aku pasti datang”, ujar kakek setelah kembali ramah.
Tapi ayah memarahiku habis-habisan. Kata ayah, gara-gara aku, kakek berkeras ingin menonton pementasan, padahal keadannya belum fit benar. Sebagai rasa bersalah, aku bertekad tampil sebaik mungkin. Apalagi aku berperan sebagai Kapten Mahmud Sani.
Lalu hari pementasan tiba. Semua wali murid hadir, termasuk Kakek Mahmud.
Dramapun dimulai. Adegan demi adegan dimainkan. Kulihat kakek begitu serius menonton drama kami. Dan adegan paling dramatispun tiba.
“Akan kulaporkan semua pada Jendral”
“Apa kau yakin”
“Ya. Bayangkan Sani berapa banyak jiwa yang akan terselamatkan, jika Jendral tahu ternyata bukan mereka pelaku utamanya!”
“Baiklah Baskoro usulmu memang bagus. Tapi sebelumnya, ada pesan dari Jendral untukmu!”, sahutku sambil mengambil pistol mainan dari balik bajuku.
“Oh ya? Apa itu?”
“ahhhh….”. tiba-tiba dari bangku penonton terdengar jeritan. Ternyata kakek terjatuh. Ia terjerembab dan memegangi dadanya. Seakan seorang telah menembaknya.
Ketika aku hampiri, ia memandangku dan berkata,”Ucapkan maaf kakek pada gurumu, Tomi Prawira Baskoro”.
Itulah kata terkahir kakek. Sebelum akhirnya ia meninggal dengan tersenyum. Tak pernah kulihat ia tersenyum sebahagia itu.

16 Juni 2009, Magelang

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun