Apa beda Tuhan dan sesembahan? Tuhan ada dan akan selalu ada, biarpun seluruh umat manusia di dunia ini bersepakat untuk berhenti menyembah Dia. Sedangkan sesembahan, hanyalah sesuatu yang menjadi objek pemujaan dan penyembahan. Dia bisa berupa manusia lain, hewan, tumbuhan, benda mati atau sesuatu yang imajiner.
Lantas, bagaimana kita mengetahui bahwa ini adalah Tuhan sedangkan itu hanyalah sesembahan. Jawaban yang sebenarnya adalah sangat tergantung dari banyak hal. Dalam perjalanan kehidupan manusia, banyak faktor yang berada di luar dirinya yang kemudian merasuk dan mengintegral dalam pemikirannya lalu berkembang menjadi suatu visi, yaitu bagaimana dia melihat dan meraba dunia, termasuk konsep tentang ke-Tuhanan.
Ketika seseorang terbiasa dengan alur pemikiran monoteis, maka ia akan bersikukuh bahwa Tuhan itu satu dan tidak lebih dari itu. Begitupula sebaliknya, bilsa seseorang terbiasa dengan konsep politeis, maka Tuhan atau sifat dari Tuhan yang berdiri sendiri, ada sekian jumlahnya. Sebenarnya hal ini hanya terlihat berbeda karena memang sudut pandang yang diambil juga berbeda. Tapi, siapakah sebenarnya umat manusia itu, sehingga berani-beraninya menghitung pribadi Tuhan? Apakah Tuhan itu semacam beras atau telur yang bisa dihitung? Sekali lagi inipun juga bergantung dari sudut pandang si manusia.
Selain masalah jumlah, manusia juga sering meributkan mengenai gambaran dari sosok Tuhan itu. Secara garis besar, para penganut monoteis, kebatinan dan lainnya mengakui bahwa sosok Tuhanitu adalah Cahaya, atau Roh, atau sesuatu yang sangat besar yang tidak mungkin bisa digambarkan. Sedang yang lain mengangap Tuhan pasti memiliki wujud, entah itu sosok lelaki tua berjanggut putih dengan petir di tangannya, atau pria gendut yang murah senyum dan memiliki pelangi di kepalanya. Sekali lagi, siapakah manusia, sehingga berani mereka-reka bentuk dan rupa Tuhan? Inipun, sekali lagi, juga bergantung dari sudut pandang si manusia.
Jika diteruskan, maka pembahasan akan melebar ke berbagai hal, seperti dimana Tuhan tinggal, siapa yang menemani Tuhan setiap waktu, apa saja yang dilakukan Tuhan dan akhirnya, kenapa Tuhan menciptakan alam semesta. Sejarah membuktikan, pertanyaan-pertanyaan semacam itu berusaha untuk dipecahkan umat manusia. Hasilnya sungguh luar biasa, berbagai cerita, paparan, hukum ataupun kisah terlahir. Walaupun setengah lainnya dianggap mitos, dan sisanya yang lain dianggap wahyu. Tapi sekali lagi, siapakah manusia hingga berani menerka-nerka kisah hidup dan data pribadi tentang Tuhan? Hal inipun juga sangat bergantung dari sudut pandang manusia.
Lalu kemudian, ketika manusia tidak mampu mengenal Tuhannya, bagaimana mereka akan menyembahnya? Tentu saja bagi sebagian orang, hal ini tidak penting. Tuhan bukan untuk dihitung atau digambar wajahnya. Dia bukan untuk diwawancarai seperti para artis, atau diinterogasi seperti seorang kriminal. Bagi sebagian orang, Tuhan adalah Tuhan. Dia Maha Kuasa, sehingga sangat wajar jika Dia berada di luar pemahaman manusia. Tidak banyak yang berani melakukan ini. Di dalam masyarakat yang sangat menjunjung tinggi nilai kebersamaan, sehingga yang tidak sama dianggap ancaman, maka orang-orang dengan pemikiran ini harus bersiap untuk hidup dalam suasana mencekam, dituntut dihadapan hukum, atau minimal menjadi repot dengan gunjingan di sana-sini. Bahkan mungkin sekali ada yang kehilangan nyawanya karena membela pemikirannya dan tak sudi untuk ikut-ikutan menghitung jumlah Tuhan.
Kembali kepada masalah Tuhan, walaupun jelas Tuhan tidak mempunyai masalah perihal diriNya sendiri. Jadi sebenarnya mengapa manusia susah payah menghitung jumlah Tuhan? Salah satu alasannya agar bisa mengenalnya, karena menurut peribahasa manusia, tak kenal maka tak sayang. Bagi sebagian orang, mengenal Tuhan adalah syarat mutlak untuk bisa menyembah Tuhan. Mereka baru yakin kalau yang disembah adalah Tuhan Yang Sejati ketika Tuhan itu sudah dapat dikenali.
Dari sinilah masalah timbul. Bukankah dengan berusaha mengenal Tuhan, manusia sebenarnya harus merasakan sendiri hakikat dari ke-Tuhanan sang Tuhan dalam hidup dan proses pengalamannya. Bagaimana dengan mereka yang mentah-mentah menerima sesuatu adalah Tuhan tanpa melewati proses itu? Jika hal itu yang terjadi, justru manusia telah melewatkan salah satu proses terpenting dalam hidupnya, yaitu mengenal Penciptanya sendiri. Akibatnya, walaupun sebenarnya kabur, konsep tentang Tuhan dan ke-Tuhanannya akan serasa yang paling benar. Mereka akan menjadi egois dan serasa memiliki hak untuk mengatakan saudaranya kafir, karena memiliki konsep ke-Tuhanan yang berbeda.
Padahal, kafir atau tidaknya jelas hanya Tuhan sendiri yang boleh memberikan penghakiman. Tetapi jika manusia merasa memiliki konsep ke-Tuhanan yang paling benar, ia akan dengan tegas mengatakan Tuhan di luar konsepnya adalah berhala, atau iblis, atau siluman dan semacamnya.
Benarkah itu? Lantas, bagaimana mungkin seseorang yang mengaku paling mengenal Dia Yang Maha Kasih pada akhirnya murah lidah untuk mencerca saudaranya, bahkan tak segan mengangkat tinju mengadakan kekerasan? Tuhankah yang menyuruhnya? Atau sesuatu yang ia anggap tuhan?
Dari sinilah sebenarnya peran Tuhan Yang Maha Tinggi yang seharusnya juga berperan sebagai sang sesembahan sejati, digantikan oleh konsep manusia itu sendiri mengenai ke-Tuhanan. Dia mendirikan sebuah mezbah pemujaan dan menyalakan dupa penyembahan di dalam pikirannya untuk sesuatu yang ia anggap Tuhan, padahal jelas itu adalah sesembahannya belaka.
Sesembahan belumlah tentu harus berwujud Tuhan, karena pada dasarnya wujud tentang Tuhanpun masih diperdebatkan. Sesembahan adalah perwujudan dari keinginan manusia agar Tuhan dapat mereka tangkap melalui pancaindera, lalu memenjarakanNya dalam buku, tulisan, simbol-simbol, atau bahkan patung.
Sesembahan itulah yang mengambil alih sebuah posisi mulya yang seharusnya ditempati Tuhan. Tapi mengapa itu bisa terjadi? Bukankah Tuhan Maha Kuasa? Mengapa Ia membiarkan dirinya digeser oleh sesuatu yang profan? Yang jelas hanya Tuhan sendiri yang tahu jawaban yang paling tepat.
Manusia dengan berbagai kekurangannya jelas akan terus mati-matian untuk mengindera Tuhan. Maka muncullah seni, filsafat, kepercayaan dan agama. Tetapi Tuhan, biarpun Ia disembah atau tidak, tetaplah Tuhan. Dia tetap yang menurunkan hujan, menggeser garis edar planet, menentukan musim dan mengubah jalan hidup seseorang.
Begitu maha besarnya Tuhan, sehingga Dia mampu mengampuni kesalahan para umatnya. Baik kriminal, maupun agamawan, semua merasakan hujan yang sama, berdiri di atas planet yang sama dan tentu itu ada karena kemulyaan Tuhan.
Apa yang bisa dipelajari di sini? Mungkin manusia harus sadar, bahwa biarpun sesembahannya itu berbeda dengan sesembahan orang lain, asalkan jika niat dan ucapan syukur tertuju pada Dia Yang Paling Segalanya, tidak perlu darah tertumpah karena perbedaan konsep tentang Tuhan.
Tuhan, Dia adalah Yang Berada di luar pemahaman manusia. Tidak ada salahnya untuk melanjutkan pekerjaan nenek moyang kita untuk mengindera Tuhan. Walau begitu, sebenarnya ada hal yang juga perlu mendapat perhatian, yakni perubahan lingkungan yang cenderung makin rusak.
Dengan energi, kecerdasan dan keterampilan dari Tuhan, maka manusia dapatmenunjukkan rasa syukurnya dengan cara menggunakan semua kemampuannya untuk membuat dunia menjadi lebih damai, indah dan nyaman. Dan hal itu jauh lebih bermanfaat daripada bersitegang leher memikirkan mana Tuhan kafir dan Tuhan sebenarnya. Salam...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H