Kita selalu mulai dengan hanya saling pandang, dibatasi meja kecil, beribu kilometer jaraknya. Lalu, ketika kita sama-sama mulai, aku selalu tergoda untuk diam saja, pura-pura sibuk dengan kopiku, lalu dengan gaya paling sexy yang memungkinkan, menyesapnya pelan-pelan, menikmati sapaan matamu yang berteriak, "kangen," membiarkan suaramu, tenang dan berbisik menceritakan semua dongeng tentang segala keajaiban yang tiba di pintumu hari ini, atau yang kamu temukan berserakan seperti batu-batu kecil sepanjang perjalananmu sepekan lalu.
Kecuali jarak, tak pernah berhasil, kita penggal-penggal, menjadi potongan kecil-kecil. Kecuali jarak, kita selalu berhasil, hadir, dalam penggalan waktu, singkat-singkat. "Lelah?" Matamu pernah, bahkan kerap, sibuk bertanya-tanya. Aku tak mau, tak akan pernah mau, menjawab. Tak ada jawabannya, selalu lebih baik bagi kita. Aku tetap akan datang, diam-diam mendengarmu bercerita, sambil menyesap kopi hitamku, beribu kilometer jauhnya.Â
Bukankah waktu, yang berputar terus tanpa jeda dalam iramanya yang tetap, adalah pembawa pesan-pesan rahasia? Jadi, mari kita biarkan begitu. Kita lebih tabah saja menunggu tirai-tirai itu dibukakannya satu demi satu. Jika, satu saat nanti, ternyata, suratan takdirmu tidak lagi punya titik temu dengan suratan takdirku, aku ingin kita tetap menjadi garis-garis paralel, tak perlu bersinggungan lagi, tapi tahu, di suatu waktu, kita pernah berada di titik imajiner yang sama.***Â
Dipicu oleh: "Lelaki dalam Sepotong Rasa" tulisan Arya Ningtyas