Sebelum kita mulai, here's your spoiler alert! Artikel ini akan menceritakan ulang film City of God (2002) secara mendalam, jadi kalau belum nonton, siap-siap ya. Tapi justru itu tujuan saya: membuat kalian bisa 'merasakan' film ini hanya lewat tulisan ini. Bonusnya? Semoga kalian jadi penasaran untuk nonton atau malah ingin diskusi—apakah pengalaman kita soal film ini sama atau justru beda jauh? Menarik kan?  ...Jadi, kalau nanti kita ternyata punya pandangan yang sama soal film ini, ya mungkin kita emang ditakdirkan untuk nyambung, nggak cuma soal film aja sih... #Eaaa..
Oh, fun fact! City of God awalnya adalah novel (semi-otobiografi) karya Paulo Lins, terinspirasi dari kisah nyata di daerah kumuh Rio de Janeiro. Novel ini sukses besar sebelum akhirnya diadaptasi menjadi film yang jadi salah satu karya sinematik terbaik sepanjang masa.
City of God: Sebuah Kisah Brutal di Tengah Kekacauan
Opening Scene: Seekor Ayam, Sebuah Pilihan
Film City of God dibuka dengan sebuah adegan yang sangat menggugah: seekor ayam yang panik berlari di lorong-lorong sempit favela, dikejar oleh geng bersenjata. Suasana riuh penuh asap masakan, musik, dan teriakan warga mengisi latar belakang. Di tengah kekacauan itu, ada Rocket, yang terjebak di antara dua kekuatan: geng yang mengejar ayam dan polisi yang bersiap menembak.Â
Freeze frame.Â
Rocket, dengan suara narasi khasnya, berkata: "Gue nggak pernah minta hidup di tempat kayak gini, tapi ya beginilah. Lo nggak pilih lahir di mana, tapi lo bisa pilih gimana lo bertahan."Â
Rocket memegang sebuah kamera, bukan pistol. Dan di sinilah letak perbedaannya: di dunia yang memaksa orang memilih antara menjadi pemburu atau yang diburu, Rocket memilih menjadi pengamat. Dan pilihan itu—sesederhana kamera—adalah senjata yang bakalan menyelamatkan hidupnya.
Throwback: Masa Kecil Rocket di 60-an
Kisah mundur ke masa ketika City of God baru dibangun. Lingkungan ini awalnya tampak penuh harapan. Warga mulai hidup baru, berjuang mengatasi kemiskinan. Rocket kecil, yang bercita-cita jadi fotografer, sering memotret kehidupan di sekitarnya dengan imajiner, menjadikan setiap momen di favelanya seperti cerita dalam majalah.Â