kenangan yang terus meresap di sela-sela ingatan. Seperti tetes air yang jatuh dari tepian gelas, kita akan terlupakan—namun bukan cinta, bukan getaran jiwa yang pernah kita rajut bersama.
Dalam dekapan waktu yang tak kekal, kita adalah serpihanManusia adalah pelancong sunyi.Â
Kami berjalan melintasi padang kehampaan, mengabaikan nyala api kehidupan, tak mendengarkan orkestra sanubari sendiri. Kami memburu bayang-bayang di belantara kota, mengira dapat menemukan keabadian dalam detak jam yang dingin.
Tetapi ada momen—tipis seperti selaput embun di ujung daun—di mana kenangan bermula.Â
Saat cahaya menyentuh kelopak mata lelah, saat musik tercipta di antara desir angin musim dan gemerisik daun yang berguguran. Di situlah kita merajut benang-benang halus pengalaman, menciptakan jahitan tak kasat mata yang akan bertahan jauh setelah tubuh ini sirna.
Kami tahu, segala sesuatu akan hilang. Seperti air yang jatuh dari cucuran atap, seperti mimpi yang menguap di ambang fajar. Namun dalam kehilangan itu, ada keabadian yang aneh—sebuah keberlanjutan yang tak dapat dipetakan, tak dapat ditangkap.
"Kalau saja," bisik kenangan. "Kalau saja..."
Dan di sinilah ironi waktu tercipta. Dalam setiap "kalau saja" tersimpan ribuan kemungkinan. Setiap kenangan adalah metamorfosis—berubah, mengalir, menjelma. Bukan sekadar mengingat, tetapi mencipta ulang. Bukan sekadar kehilangan, tetapi mengabadikan.
Kita adalah pembuat metafora. Kita adalah penjaga mimpi-mimpi yang tak terucap. Dalam setiap detak jantung, dalam setiap hela napas, kita terus menulis ulang definisi keabadian.
Percayalah, engkau akan dilupakan.
Tapi tidak cinta ini.
Tidak kenangan ini.
Sirosa ini disusun kembali dari puisi ini: Metafora Tentang KitaÂ