Martha Wang. Ibuku. Ia tumbuh di Jakarta, di tengah keluarga kelas menengah atas yang menyembah dua dewa: kemapanan dan kecantikan.
"Peluru terakhir seorang perempuan adalah penampilannya," nenekku sering berkata sambil menyeruput teh.
Martha tidak pernah protes. Ia menjalani operasi pertamanya di usia 16 tahun: hidung ditinggikan, rahang dikencangkan, pipi disuntik, kulit diputihkan. Semuanya atas nama kontrak sosial kecantikan.
“Perempuan harus menjadi karya seni,” kata ayahnya, dokter dengan reputasi cemerlang, yang ironisnya merancang tubuh putrinya seperti arsitek merancang gedung pencakar langit.
Martha menikah dengan Richard Wang, seorang dokter estetika yang melihat tubuh bukan sebagai perwujudan manusia, melainkan sebagai kanvas kosong. Bersama-sama, mereka menciptakan "kesempurnaan" fisik Martha. Tapi apa artinya kesempurnaan jika setiap garis, setiap lekuk adalah penghapusan sejarah?
Setiap prosedur adalah cara Martha menghapus dirinya. Ia adalah tubuh tanpa jiwa, eksistensi yang dikuratori oleh dunia luar. Namun, ia tidak pernah memandangku dengan rasa kecewa. Ia memandangku dengan ketakutan.
Ketika aku menolak prosedur pertama yang ditawarkan ayahku, Martha menangis. Tidak karena aku melawan. Tapi karena aku, untuk pertama kalinya, memilih jalan lain.
“Kamu akan sulit,” bisiknya malam itu. “Dunia tidak ramah pada perempuan yang menolak disempurnakan.”
Aku tersenyum. Senyum pertama yang benar-benar milikku.
II.
Aku adalah produk sempurna dari dunia yang ingin kuhancurkan. Namaku Yasmine Wang, dan aku bekerja untuk Eterna Corp, perusahaan teknologi estetika terdepan di Asia Tenggara.
Aku tidak bergabung dengan mereka karena percaya pada visi mereka. Aku bergabung untuk menghancurkan dari dalam.
Matematika adalah bahasa pertamaku. Sejak kecil, aku memahami bahwa dunia diatur oleh algoritma, bukan emosi. Di Eterna, aku tidak hanya peretas. Aku adalah arsitek sistem. Mereka memercayakan keamanan mereka padaku, tanpa tahu bahwa setiap line code yang kutulis adalah manifest perlawanan.
Mereka ingin tubuh manusia menjadi produk yang dapat dimodifikasi seperti perangkat lunak. Tapi aku melihat lebih jauh. Setiap algoritma yang mereka gunakan untuk menciptakan "kesempurnaan" adalah bukti bahwa tubuh telah menjadi komoditas.
Mereka tidak tahu bahwa aku sedang merancang akhir mereka.
III.
Richard Wang, ayahku, bukan sekadar dokter estetika. Ia adalah pelopor teknologi modifikasi tubuh. Di balik pintu tertutup, ia memimpin eksperimen yang mengubah tubuh manusia menjadi mesin biologis.
Tapi setiap sistem memiliki celah.
Suatu malam, aku menemukan dokumen rahasia yang membongkar konsekuensi mengerikan dari teknologi ini: kerusakan syaraf, kehilangan sensasi, dan—paling parah—bunuh diri massal di kalangan pengguna.
Aku menghubungi Bumi, mantan profesor bioetika yang memimpin gerakan bawah tanah bernama "Tubuh yang Terakhir." Mereka melawan komodifikasi tubuh, berusaha mengembalikan hak atas tubuh kepada manusia.
“Selamat datang di perang, Yasmine,” kata Bumi saat kami bertemu.
IV.
Hari pemberontakan tiba pada pukul 03.17 dini hari.
Kami tidak membawa senjata. Senjata kami adalah kode.
Dalam hitungan detik, sistem Eterna Corp lumpuh total. Identitas palsu membanjiri basis data mereka, ribuan registrasi tubuh sintetis terblokir, dan rahasia perusahaan tersebar ke seluruh penjuru dunia.
Media menyebutnya sebagai kejatuhan imperium teknologi. Tapi bagi kami, ini adalah awal.
Aku berdiri di tengah reruntuhan sistem yang pernah kukagumi sekaligus kubenci, dengan satu kesadaran: tubuhku adalah revolusi yang tidak bisa dibeli, dimodifikasi, atau dihancurkan.
V.
Enam bulan kemudian, dunia mulai berubah.
Aku tidak merasa sebagai pahlawan. Aku hanya seseorang yang menolak untuk menjadi produk dari sistem yang menghancurkan ibuku, yang hampir menghancurkan diriku.
Tubuh adalah narasi. Setiap luka, setiap perubahan adalah bagian dari kisah yang harus kita tulis sendiri, bukan dipaksakan oleh standar yang dibuat untuk memperbudak kita.
Kepada mereka yang merasa berbeda, ditolak, atau tidak sempurna: tubuhmu adalah milikmu.
Dan itu adalah kekuatan terbesarmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H