Martha Wang. Ibuku. Ia tumbuh di Jakarta, di tengah keluarga kelas menengah atas yang menyembah dua dewa: kemapanan dan kecantikan.
"Peluru terakhir seorang perempuan adalah penampilannya," nenekku sering berkata sambil menyeruput teh.
Martha tidak pernah protes. Ia menjalani operasi pertamanya di usia 16 tahun: hidung ditinggikan, rahang dikencangkan, pipi disuntik, kulit diputihkan. Semuanya atas nama kontrak sosial kecantikan.
“Perempuan harus menjadi karya seni,” kata ayahnya, dokter dengan reputasi cemerlang, yang ironisnya merancang tubuh putrinya seperti arsitek merancang gedung pencakar langit.
Martha menikah dengan Richard Wang, seorang dokter estetika yang melihat tubuh bukan sebagai perwujudan manusia, melainkan sebagai kanvas kosong. Bersama-sama, mereka menciptakan "kesempurnaan" fisik Martha. Tapi apa artinya kesempurnaan jika setiap garis, setiap lekuk adalah penghapusan sejarah?
Setiap prosedur adalah cara Martha menghapus dirinya. Ia adalah tubuh tanpa jiwa, eksistensi yang dikuratori oleh dunia luar. Namun, ia tidak pernah memandangku dengan rasa kecewa. Ia memandangku dengan ketakutan.
Ketika aku menolak prosedur pertama yang ditawarkan ayahku, Martha menangis. Tidak karena aku melawan. Tapi karena aku, untuk pertama kalinya, memilih jalan lain.
“Kamu akan sulit,” bisiknya malam itu. “Dunia tidak ramah pada perempuan yang menolak disempurnakan.”
Aku tersenyum. Senyum pertama yang benar-benar milikku.
II.
Aku adalah produk sempurna dari dunia yang ingin kuhancurkan. Namaku Yasmine Wang, dan aku bekerja untuk Eterna Corp, perusahaan teknologi estetika terdepan di Asia Tenggara.