"Di lorong gelap sebuah apartemen, ia menyimpan revolusi pribadinya. Dua janin, dua nama, satu tubuh yang memberontak. Antara suami yang rasional dan selingkuhan yang liar, ia menciptakan kehidupan baru---tanpa permisi, tanpa penyesalan."
***
Cerpen ini juga ditayangkan di  sini
Â
Nama bukan sesuatu yang kutahu bagaimana memberinya. Nama akan membuat ruang ini sempit, terlalu nyata, terlalu dekat. Lorong ini bukan tentang kejelasan. Lorong adalah tentang melarikan diri, tentang tubuh-tubuh yang datang dan pergi, dan dosa yang menempel seperti bayangan basah di kulit. Â
Di lorong ini, aku menjadi siapa saja. Aku menjadi siapa pun. Di lorong ini, aku adalah seorang pemberontak. Â
---
Â
Tubuhku adalah tempat revolusi bermula. Sebuah pertempuran kecil setiap malam, antara kepatuhan yang diajarkan Pras dan kebebasan yang ditawarkan Rizal. Â
Pras adalah suamiku. Rasional. Penuh jadwal. Dia membuat hidupku seperti buku agenda yang harus diikuti, halaman demi halaman. Tapi Rizal, ah, Rizal seperti bait puisi yang melompat dari satu kata ke kata lain tanpa peduli aturan. Â
"Bayi ini kembar," kata dokter sambil menatap layar USG. Â
Aku tertawa dalam hati. Dua janin ini, dua nama ini, dan tubuhku yang satu ini, adalah revolusiku. Mereka bukan milik siapa pun, kecuali milikku. Â
---
Â
Jakarta dan aku sama. Kami tahu bagaimana berdandan untuk menutupi luka. Di bawah lampu-lampu jalan, kota ini seperti panggung yang tidak pernah tidur. Tapi di lorong apartemenku, aku membuka topeng itu. Aku membiarkan tubuhku runtuh. Â
Pras akan mengetuk pintu kamarku, membawa ciuman yang dingin seperti berita pagi. Â
"Bagaimana kabar bayi-bayi itu?" tanyanya. Â
"Baik," jawabku. Â