Mohon tunggu...
Ge
Ge Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis/Sirosais

Suka menulis sirosa (puisi-prosa), cerpen yang liris, dan ilustrasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kev dan Senjanya Yang Jauh

10 Oktober 2024   05:02 Diperbarui: 10 Oktober 2024   09:43 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
instagram.com/gambarable

Langit kamar Kev---lebih tepatnya, selembar plafon berwarna putih kusam yang dihiasi noda lembab samar, hasil kebocoran tak diakui dari tetangga di atasnya---memantul di bola matanya yang separuh terbuka, seolah mengatakan sesuatu yang penting tapi tertahan. Di sekelilingnya, cahaya kuning lampu tidur berpendar dengan cara yang membuat segalanya tampak lebih nyata dan lebih tidak nyata pada saat bersamaan (kalau itu masuk akal, dan dalam dunia Kev, hal-hal seperti ini memang jarang masuk akal). Bayangan perabotan murahan yang dia beli ketika baru pindah tiga tahun lalu menempel di dinding seperti ingatan-ingatan yang tidak bisa dia hilangkan, tidak peduli seberapa keras dia mencoba. Di sebelah kirinya, dinding dingin yang entah kenapa selalu terasa dingin, bahkan di tengah musim panas, sementara di sebelah kanannya---ruang kosong. Bukan hanya ruang kosong fisik, tapi semacam kehampaan yang begitu keras, begitu solid sehingga Kev bisa merasakannya menekan dari segala arah.

Tiga bulan. Tiga bulan sejak Senja pergi. Atau, lebih tepatnya, sejak dia meninggalkan Kev, meninggalkan dunia yang dulu mereka buat bersama, tanpa memberikan peta untuk kembali. Kev selalu menganggap jarak sebagai sesuatu yang abstrak---hanya angka, hanya kilometer yang bisa dilompati dalam sekejap oleh teknologi modern. Tapi sekarang jarak itu lebih seperti entitas nyata, sesuatu yang tumbuh di antara mereka, memisahkan Kev dan Senja bukan hanya dalam hal fisik, tapi juga secara psikologis. Dan semakin lama jarak itu menganga, semakin sedikit Kev tahu bagaimana cara menghadapinya, atau bahkan mendefinisikannya.

Mereka dulu berbicara tentang jarak seperti orang bodoh berbicara tentang cuaca: seolah itu hal kecil yang tidak akan mengganggu apa pun. "Kita akan baik-baik saja," kata mereka. "Jarak itu cuma sementara," kata mereka. Tapi sekarang Kev menemukan dirinya berbaring di kamar yang kosong, memandangi ponselnya, menunggu pesan yang tak kunjung datang. Ada semacam kepalsuan yang meresap di dalam gagasan "telepon video," semacam ironi pahit bahwa teknologi yang seharusnya mendekatkan mereka malah menjadi pengingat bahwa jarak bukan hanya soal ruang fisik. Percakapan mereka, dulu mengalir seperti air di sungai deras, sekarang terasa lebih seperti tetesan air dari keran bocor---sedikit, terputus-putus, dan entah bagaimana lebih membuat frustrasi daripada memberi kepuasan.

Kev tahu Senja sibuk. Dia tahu bahwa ambisi Senja bukan hal yang bisa ditekan atau disangkal. Malahan, Kev mencintai bagian dari Senja yang selalu haus akan lebih---lebih pencapaian, lebih pengalaman, lebih makna. Tapi yang Kev tidak sadari (atau lebih tepatnya, tidak ingin sadari) adalah bahwa di antara segala 'lebih' yang Senja kejar, ada ruang yang dibiarkan kosong---ruang yang dulu diisi oleh tawa, canda, dan percakapan tengah malam tentang hal-hal sepele yang anehnya selalu membuat mereka merasa lebih dekat satu sama lain. Sekarang, ruang itu hanya berisi keheningan. Keheningan yang menggema, memperbesar setiap jeda percakapan mereka.

Di sini adalah tempat ironi masuk, dengan segala kebisuan yang menandakan bahwa tidak ada lagi yang perlu dikatakan, namun semua hal penting justru berada dalam ketidakmampuan mereka untuk berbicara. Kev tidak bisa memutuskan apakah jarak di antara mereka adalah sesuatu yang harus dilawan atau diterima begitu saja, seperti cara seseorang menerima kenyataan bahwa mereka tidak akan pernah benar-benar memahami kenapa air mendidih pada 100 derajat Celsius tetapi terasa panas sebelum itu.

Dan apa yang membuat situasi ini lebih aneh adalah betapa sedikitnya Kev tahu tentang perasaannya sendiri. Bukannya dia tidak sadar akan kesedihannya, atau kebingungannya, atau bahkan kemarahannya. Dia sepenuhnya sadar akan semua itu. Tapi ada perbedaan antara menyadari dan memahami, dan Kev berada tepat di tengah jurang itu. Di satu sisi, dia merasa marah---pada Senja, pada jarak, pada semua janji yang tidak ditepati. Di sisi lain, dia merasa bodoh karena marah pada hal-hal yang, kalau dipikirkan secara rasional, tidak sepenuhnya bisa dikendalikan oleh siapa pun.

Kev duduk di tepi tempat tidur, kakinya menyentuh lantai dingin. Ada sesuatu yang melekat dalam sensasi dingin itu---semacam kesadaran bahwa dunia di luar sana terus berjalan, tidak peduli seberapa hancur Kev merasa di dalam. Dan di situlah, mungkin, letak absurditas terbesar dari semua ini: bahwa meskipun Kev merasa begitu hancur, begitu terasing, dunia tidak peduli. Senja mungkin juga tidak peduli. Atau, mungkin Senja peduli, tapi dalam cara yang tidak bisa dirasakan Kev di tengah kekosongan ini.

Kev menatap keluar jendela, ke kota yang tidak pernah berhenti bergerak. Ia merasa terjebak dalam lingkaran waktu yang aneh, di mana malam dan siang tidak ada bedanya, di mana satu-satunya hal yang tetap adalah ketidakpastian. Apakah cinta mereka cukup kuat untuk menahan jarak? Ataukah cinta itu hanya ilusi yang semakin jelas ketika semakin jauh?

Di tengah semua itu, Kev menyadari sesuatu yang lebih dalam: bahwa cinta, jarak, dan rindu---semuanya hanyalah cara-cara manusia untuk mencoba memberi makna pada sesuatu yang pada dasarnya tidak bermakna. Bahwa hidup terus berjalan, dan kita hanya bisa mencoba untuk beradaptasi. Bahwa, seperti yang dikatakan seseorang di suatu tempat yang Kev lupa di mana, "Everything is always already happening."

Lalu, saat Kev sedang tenggelam dalam kebingungan dan absurditasnya sendiri, ponselnya bergetar. Sederetan teks muncul di layar.

"Untuk kita yang malam ini terbaring sendiri,
di antara jarak yang tak terlihat,
ada ruang yang tak tersentuh,
namun terasa begitu nyata.

Langit di atas kita mungkin sunyi,
tanpa bisikan, tanpa sentuhan,
tapi ketahuilah, rindu itu punya suara.
Ia berdesir di sela-sela malam,
menghampiri hati yang terbuka.

Kita semua, dalam sepi yang berbeda,
menyimpan harapan yang sama.
Ada yang merindu hanya sejenak,
ada yang memeluk sepi selamanya,
tapi di bawah langit yang sama,
kita tidak benar-benar sendiri."

Kev menatap teks itu selama beberapa detik. 

"Aku juga rindu kamu, Kev. Senja-mu yang jauh di sini."

Dan di momen yang sejenak terasa lebih panjang dari yang seharusnya, Kev mendekap ponselnya, membiarkan rindu yang jauh itu---jauh tapi begitu dekat---membuat sesuatu yang selama ini hilang menjadi nyata kembali, meski hanya untuk satu momen singkat di malam yang begitu panjang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun