Di Facebook saya diundang ke dalam sebuah grup yang menyatakan bahwa mereka adalah sebuah grup yang netral, tidak memihak kandidat manapun yang sedang hangat-hangatnya dibincangkan pada saat ini. Tapi, dalam informasi tentang grup itu tertera pernyataan 'netral' ini: Semua orang punya masa lalu, tetapi jangan jadikan masa lalu tersebut sebagai masalah baginya, berikanlah kesempatan."
Pernyataan 'netral' ini membuat saya sangat tergelitik untuk membuka topik ini dengan sebuah pertanyaan: "Kalau sebuah keputusan diserahkan kepada Anda, akankah Anda setuju bila seorang yang di masa lalunya pernah melakukan kejahatan pemerkosaan terhadap beberapa orang anak (pedofil) menjadi Kepala Sekolah di sekolah tempat anak-anak Anda belajar?"
Sekarang ini sedang marak terbongkarnya atau disorot tajam kasus-kasus pedofilia yang ternyata sudah memakan banyak korban dalam jangka waktu yang panjang. Kepanikan orangtua yang mengkhawatirkan keselamatan anak-anak mereka, berbanding lurus dengan kepedihan yang dirasakan oleh para orangtua yang anak-anaknya sudah menjadi korban.
Di sebuah sekolah internasional kabarnya, ada beberapa tenaga pengajar yang ternyata di negara asal mereka adalah para pedofil. Latar belakang ini sebelumnya memang tidak diketahui oleh pihak sekolah (?), dan kini baru ketahuan setelah sebuah kasus pemerkosaan terhadap seorang siswa yang masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak mencuat ke permukaan dan sekolah itu berada di bawah sorotan keras dari pemerintah daerah, pers dan seluruh negeri.
Nah, hal ini membuat saya berpikir bahwa mengetahui masa lalu seseorang saat menerimanya bekerja adalah hal yang sangat penting, terutama karena seorang pedofil tidak mudah untuk dideteksi secara dini, sebab umumnya anak-anak tidak berani mengadu atau tidak mengerti bahwa apa yang dilakukan orang dewasa terhadap mereka adalah hal yang menyimpang dan tidak senonoh. Yang bisa dan harus dilakukan oleh pihak orangtua dan sekolah dan seluruh masyarakat adalah waspada dan melakukan pencegahan dini bila mengetahui ada para penjahat kelamin pemerkosa anak-anak di sekitar tempat kita tinggal. Jauhkan mereka dari sekolah-sekolah tempat di mana dengan mudah mereka bisa mengincar dan memangsa anak-anak yang belum tahu apa-apa dan tak bisa membela diri. Anak-anak juga dilatih untuk melindungi diri mereka dari geranyangan orang asing. Meskipun harus diakui dan disayangkan bahwa pemerkosaan terhadap anak-anak tidak cuma bisa dan tega dilakukan oleh orang asing saja.
Sekarang, saya ingin mengajak Anda untuk  membayangkan, kalau Anda sudah mengetahui bahwa seseorang pernah dihukum atau tertangkap melakukan perbuatan tidak senonoh terhadap anak-anak beberapa tahun yang lalu, apakah Anda akan diam saja saat beberapa tahun kemudian dia muncul dengan penampilan berbeda, dan ujuk-ujuk melamar hendak menjadi kepala sekolah di sekolah tempat anak Anda sedang belajar?
Apakah saat keputusan untuk menerimanya menjadi kepsek itu diserahkan kepada Anda lalu Anda akan dengan lapang dada berkata, "Ah, siapa tahu dia sudah berubah, jadi, kasih kesempatanlah buat dia. Pemerkosaan itu kan sudah bertahun-tahun yang lalu. Lagipula korban-korban yang cuma dia pegang-pegang dan enggak sampai kena perkosa beneran kan nggak apa-apa juga tuh sampai sekarang, mereka baik-baik saja, kok. Jangan diungkit-ungkit, semua orang punya masa lalu, sudahlah, biarkan saja."
Memang benar semua orang punya masa lalu, tapi nggak semua orang masa lalunya adalah pemerkosa, pembunuh, penculik, perampok bank, teroris, misalnya. Kalau yang masa lalunya serem-serem seperti itu apa benar Anda bisa woles saja saat tiba-tiba saja dia mengangkat dirinya untuk menjadi orang penting di tengah-tengah masyarakat Anda? Apalagi kalau ia berusaha menjadi orang penting tepat di komunitas di mana ia rentan akan mudah untuk melakukan kejahatannya kembali.
Bisa jadi sih, Anda akan tega saja berkata, "Kasih dia kesempatan, manusia berubah. Biarkan saja dia jadi kepala sekolah, kalau sampai jatuh korban lagi, baru kita turunkan dia." Wah, wah, harus ada anak yang jadi tumbalnya dulu? Harus terulang kembali baru ribut-ribut lagi? Apa iya, Anda sebagai orangtua benar-benar tidak kuatir pada keselamatan anak Anda? Kalau Anda lempeng aja menyerahkan apa yang akan terjadi kepada anak-anak Anda ke tangan nasib atau jauh lebih percaya sama si pedofil dan merasa aman-aman saja karena yakin dia sudah berubah, well, bisa jadi Anda sudah tidak waras.
Tapi, saya yakin orangtua dari para korbannya, terutama yang benar-benar diperkosa, pasti keberatan. Mengapa? Karena mereka sudah merasakan sendiri pedihnya akibat dari kejahatan yang dilakukan terhadap anak-anak mereka. Dan jangan heran juga kalau berbeda dengan Anda banyak anggota masyarakat yang mempersoalkan masa lalunya. Orang banyak itu justru merasa keterlaluan kalau si pedofil ini sampai dianggap pantas menduduki jabatan tersebut mengingat reputasi buruknya itu dan kemungkinan yang dapat terjadi terhadap anak-anak di sekolah tersebut, termasuk anak Anda.
Berlebih-lebihan dan anehkah kekuatiran orang banyak tersebut? Ajaib dan mengada-adakah kalau kemudian muncul suara-suara dari berbagai elemen masyarakat yang peduli pada keselamatan anak-anak untuk menentang si pedofil menjadi kepala sekolah?
Nah, dari sini saya hendak membangun argumentasi saya bahwa masa lalu seseorang jelas merupakan bagian dari dirinya yang tidak bisa dibuang begitu saja, sengotot apapun dia ingin melakukannya, terutama kalau masa lalu itu pernah merugikan orang lain dan punya potensi untuk diulangi lagi bila ada kesempatan, dan kemungkinan ini diketahui pula oleh orang banyak.
Masa lalu yang seperti ilustrasi di atas, jelas merupakan sebuah beban buat pemiliknya, karena masa lalu tersebut memang suram, kelam dan penuh kebusukan. Menuntut masyarakat untuk tidak mengungkit-ungkit, bahkan mengecam masyarakat karena tidak sudi memaafkan masa lalu yang anyir itu, jelas menunjukkan si pelaku tidak menyesali apa yang pernah dilakukannya atau menganggap enteng jejak-jejak kejahatan yang dibuatnya.
Dia gagal memahami bahwa memberikan ampun atau tidak, memaafkan atau tidak, bukan merupakan hak yang bisa dituntutnya dari orang lain. Sebaliknya mau memaafkan atau tidak, mau melupakan atau tidak merupakan hak yang tidak dapat diambilnya dari masyarakat. Jadi jangan dibolak-balik fungsinya.
Hal yang sudah seharusnya dilakukan oleh pelaku kejahatan bila dia menyesali perbuatannya adalah mengakui kejahatannya, meminta maaf dan tidak memaksakan orang lain untuk menerima maafnya hanya karena dia sudah minta maaf. Tahu diri, adalah bagian dari pertobatan. Melakukan terapi adalah bagian dari pertobatan. Menjauhkan diri dari tempat-tempat yang dapat menggodanya melakukan kejahatan lagi, adalah tindakan yang bertanggung jawab dan beradab. Sayangnya, jarang sekali pelaku kejahatan memiliki kesadaran semacam ini, kan? Ada pepatah yang berbunyi, macan tidak dapat menanggalkan lorengnya. Karena itu pintar-pintarlah kita menjaga diri dari menjadi mangsa predator-predator semacam itu.
Sebaliknya, ada masa lalu yang justru menjadi bekal yang menguntungkan bagi seseorang. Contohnya seseorang yang pada masa kecilnya hidup sederhana bahkan sangat-sangat sederhana di bantaran kali dan sempat mengalami beberapa kali penggusuran, ternyata mampu untuk tumbuh dewasa dan berhasil menjadi pejabat pemerintah. Kejadian-kejadian tidak menyenangkan yang pernah dialaminya sebagai rakyat kecil yang tidak memiliki kekuasaan dan kekuatan untuk berbuat banyak di masa lalu, kini membuat ia memiliki empati kepada rakyat kecil ketika tiba gilirannya untuk memimpin dan memiliki kuasa untuk melakukan penggusuran, misalnya.
Masa lalunya yang tidak nyaman dan tidak mudah itu, membuatnya kini terdorong untuk membuat kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat, sebab ia pernah berada di posisi tersebut, sehingga ia tahu sekali bagaimana rasanya. Masa lalunya merupakan salah satu faktor yang membentuk pola pikirnya. Dia melihat orang-orang kecil seperti dia dan keluarganya dulu adalah manusia-manusia, rakyat, bukan hanya sebongkah masalah perkotaan yang harus disingkirkan begitu saja.
Masa lalu yang menumbuhkan empatinya, membuatnya tidak hanya berusaha membuang masalah, tetapi juga mencari cara menyelesaikan masalah karena dia paham apa sebetulnya masalahnya. Sedangkan bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk melihat dan merasakan seperti yang dirasakannya, mereka akan gagal memahami masalah yang sebenarnya. Kegagalan memahami masalah melahirkan kebijakan-kebijakan yang juga kurang tepat.
Sekarang mari kita bandingkan arti masa lalu kedua tokoh ilustrasi di atas. Pedofil di atas adalah predator, ia cenderung sangat berbahaya bagi masyarakat  karena memiliki kecenderungan untuk memangsa orang-orang yang lemah, anak-anak yang tidak berdaya, bila terbuka kesempatan untuk itu. Sebaliknya, si anak dari tepi bantaran kali yang berhasil menjadi pejabat publik itu adalah bagian dari masyarakat marginal yang adalah kelompok terbesar di negaranya, sehingga ia dapat memahami apa yang dibutuhkan oleh orang-orang seperti dirinya.
Demikianlah, menurut saya, masa lalu dapat menjadi liability dan dapat pula menjadi asset, tergantung dari bagaimana seseorang merespon dan mempertanggungjawabkan masa lalu tersebut.
Akhir kata, bila Anda menengok ke belakang dan melihat masa lalu Anda sendiri, apakah masa lalu Anda dapat menjadi asset atau liability, dan bagaimana Anda mau menyikapinya?
***
Puisi-puisi Miss G
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H