Mohon tunggu...
Fauzan Dewanda Dawangi
Fauzan Dewanda Dawangi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Kriminologi Universitas Indonesia

Tertarik dengan isu terorisme dan konflik sosial

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Terorisme dan Perjuangan Etnis Kurdi dalam Mendapatkan Kesetaraan

16 Januari 2023   10:30 Diperbarui: 16 Januari 2023   10:34 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Timur Tengah merupakan kawasan yang seringkali dilanda konflik bersenjata. Konflik yang bermunculan di kawasan Timur Tengah seringkali tidak terlepas dari masalah agama. Misalnya kemunculan organisasi teroris seperti ISIS di Iraq dan Syiria yang berusaha menyebarkan paham Khilafah telah menjadi ancaman dunia internasional. Akan tetapi, seringkali konflik berdasarkan separatisme etnis luput dari bahasan media. Kemunculan gerakan separatisme dari etnis-etnis minoritas di kawasan Timur Tengah tidak terlepas dari masalah diskriminasi yang dilakukan oleh negara. Seringkali negara-negara di Timur Tengah melakukan homogenisasi budaya secara paksa terhadap etnis minoritas bahkan melibatkan militer. Hal ini kemudian menimbulkan perlawanan bersenjata dari etnis minoritas yang telah mendapatkan perlakuan diskriminasi dari negara. Salah satu perlawanan yang dilakukan oleh etnis minoritas terhadap negara-negara di Timur Tengah misalnya dilakukan oleh etnis Kurdi. 

Etnis Kurdi merupakan suku minoritas yang mendiami beberapa negara di Timur Tengah, seperti Irak, Iran, Turki, dan sebagian wilayah Suriah. Sebagai etnis minoritas, Kurdi memiliki sejarah yang kelam terkait praktik diskriminasi dari negara-negara di kawasan Timur Tengah misalnya Turki. Dalam sejarahnya, etnis Kurdi merupakan kelompok yang seringkali mendapatkan diskriminasi dari pemerintah Turki. Diskriminasi yang dialami etnis Kurdi di Turki dimulai ketika berdirinya Republik Turki pada tahun 1923. Pada saat itu, pemerintahan Kemal Ataturk salah satunya adalah menciptakan bangsa dan negara bangsa yang homogen secara etnik, bahasa dan budaya melalui ideologi Kemalism. 

Pemerintah Turki melarang penggunaan bahasa dan simbol yang mewakili etnis Kurdi. Sejak pemerintahan Kemal Ataturk, Turki melarang orang tua memberikan nama Kurdi ke bayi mereka dan tidak memberikan hak atas akses pendidikan serta penggunaan bahasa Kurdi. Pelarangan Hal ini mengakibatkan etnis Kurdi di negara Turki menghadapi sejak lama menghadapi masalah seperti kemiskinan dan rendahnya kemampuan literasi. 

Pemerintah Turki juga pernah bertanggung jawab atas kasus pembantaian terhadap etnis Kurdi. Misalnya, pada tahun 1930, terjadi insiden Pembantaian Zilan yang menewaskan sekitar 15.000 orang Kurdi. Insiden itu dilakukan oleh militer Turki di lembah Zilan, Provinsi Turki Timur. Dalam beberapa tahun terakhir, Turki masih terus melakukan operasi militer yang mengakibatkan warga sipil dari etnis Kurdi menjadi korban. Misalnya pada tanggal 20 November 2022, militer Turki melancar "Claw Sword Operation" di daerah Iraq bagian utara yang berakibat pada tewasnya 184 orang Kurdi termasuk warga sipil. Operasi militer yang dilancarkan Turki merupakan serangan balasan atas aksi pengeboman yang dilakukan oleh organisasi PKK yang menewaskan enam orang dan melukai lebih dari 80 orang lainnya. 

Berbagai bentuk diskriminasi hingga kekerasan yang dilakukan pemerintah Turki kemudian mendorong orang Kurdi membentuk gerakan perlawanan yaitu Partiya Karkern Kurdistan (Partai Pekerja Kurdistan) atau biasa disingkat PKK. PKK, dibentuk pada tahun 1978 dipimpin oleh Abdullah Ocalan. Pada awal pembentukannya, tujuan PKK adalah untuk melakukan revolusi komunis di Turki. Namun, Abdullah Ocalan mulai mengubah gerakan PKK menuju pembebasan Kurdi. Sejak saat itu, PKK tujuannya adalah untuk membangun negara merdeka yang disebut "The Great Kurdistan". Pada tahun 1984, PKK meningkatkan intensitasnya serangan terhadap pemerintah Turki. Mereka seringkali menyerang aparat keamanan Turki dan pasukan paramiliter yang ditugaskan untuk mengatasi ancaman PKK. PKK juga menyerang kantor diplomatik Turki dan perusahaan komersial di beberapa Eropa pada tahun 1993 dan 1995. Di dalamnya berbagai serangan, PKK menggunakan metode penembakan, bom bunuh diri dan menculik turis asing turis. Misalnya, pada tanggal 11 Mei 2013 lalu, PKK bertanggung jawab dalam insiden ledakan dua bom mobil yang mengakibatkan 52 orang tewas di kota Reyhanli, Provinsi Hatay, Turki. Ancaman keamanan yang dilakukan oleh organisasi ini membuat pemerintah Turki menetapkan PKK sebagai organisasi teroris. 

Kelompok PKK memiliki peran dalam dinamika konflik di timur tengah. Hal ini didorong akibat serangan yang dilakukan oleh ISIS terhadap tiga kawasan Kurdi di Suriah utara pada tahun 2013 lalu. Dalam menghadapi ancaman ISIS, PKK bertempur bersama milisi Arab setempat di bawah bendera Syrian Democratic Forces (SDF) dengan dibantu serangan udara dan senjata dari pasukan koalisi Amerika Serikat. PKK bersama pasukan koalisi Amerika serikat dan Syrian Democratic Forces kemudian berhasil mengalahkan ISIS di tahun 2017. Mereka berhasil menguasai Raqqa yang dianggap sebagai ibu kota ISIS. 

Pengalaman Diskriminasi Etnis Kurdi dan Terorisme PKK

Perlawanan oleh organisasi PKK terhadap pemerintah Turki berupa serangan teror merupakan respon atas deprivasi sosial yang dialami oleh etnis Kurdi selama ini. Menurut Ziemke (2006) Deprivasi sosial memunculkan ketidaksetaraan, ketidakadilan, dan berbagai masalah lain sehingga menimbulkan frustasi bagi kelompok yang termarginalkan. Hal kemudian mendorong kelompok yang mengalami deprivasi berusaha mendapatkan hak-hak mereka dengan melakukan kekerasan seperti terlibat dalam serangan terorisme.

Kebijakan diskriminatif yang dilakukan oleh pemerintah Turki terhadap etnis Kurdi telah mendorong keinginan untuk terciptanya negara baru dengan kepedulian lebih terhadap kepentingan etnis minoritas seperti Kurdi. Hal ini menunjukan bahwa kebijakan diskriminatif hanya akan meningkatkan polarisasi yang kemudian berujung pada konflik. Kebijakan diskriminatif yang kemudian disertai dengan pendudukan dan intervensi militer dari pemerintah Turki kemudian menimbulkan perasaan terhina bagi etnis Kurdi. Hal ini kemudian mendorong lahirnya PKK  yang beraliran komunis. 

Dalam mencegah aksi terorisme yang muncul akibat adanya deprivasi sosial, pemerintah perlu melakukan kebijakan yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan bagi kelompok marginal. Alih-alih menggunakan pendekatan keamanan yang mengandalkan kekerasan oleh militer, kelompok marginal akan terus tertindas sehingga mereka semakin membenarkan aksi terornya terhadap pemerintah. Dalam menyelesaikan masalah terorisme PKK, pemerintah Turki harus menyelesaikan masalah diskriminasi yang  dialami oleh bangsa Kurdi. Pemerintah Turki perlu menciptakan kesetaraan bagi etnis Kurdi untuk mendapatkan layanan dari pemerintah. Selain itu, etnis Kurdi juga harus diberikan kebebasan dalam mengekspresikan kebudayaan mereka seperti penggunaan bahasa asli mereka. Hal ini harapannya dapat mendorong etnis Kurdi merasa menjadi bagian dari warga negara Turki dan tidak terlibat dalam tindakan terorisme.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun