Pemandangan yang mewakili kenangan saya (Sumber : Kaskus) 5 Mei 1982, pagi-pagi sekali. Namun pagi yang sangat berbeda. Yang membedakan ternyata buramnya kabut diganti oleh guyuran titik-titik abu yang menjadi layar pemandangan di setiap tempat. Waktu itu, saya murid kelas 3 SD, tak tahu debu dari mana dan karena apa. Sekolah diliburkan beberapa hari. Dari obrolan orang tua tahulah bahwa Gunung Galunggung meletus dan memuntahkan abunya sampai jauuuuuh. Dari Tasik sampai Bandung. Akibat letusan itu, lebih dari tiga puluh desa di kaki Galunggung hancur. Ribuan warga terpaksa harus mengungsi ke tempat yang aman selama berbulan-bulan. Beberapa bulan setelah itu, bapakku mengajak untuk melihat kondisi Galunggung. Tak ingat saya ke sebelah mana. Yang diingat adalah saya berdiri di pucuk sebuah pohon kelapa yang entah seberapa tingginya. kata pengantar, di sekitar pohon kelapa itu dulunya terdapat beberapa rumah. Dan saat itu tak kelihatan karena tertimbun oleh pasir hasil erupsi Galunggung.Di kejauhan saya dapat lihat aliran sebuah sungai yang menghantar sisa-sisa lahar dari Gunung Galunggung. Bergulung-gulung dan diselimuti uap air panas. Merinding rasanya melihat batu-batu sebesar kebo bergulung-gulung pasrah diterjang lahar.
5 Januari 2014. 22 tahun berlalu. Bersama dengan bapak yang sudah berumur 75 tahun dan beberapa karib kerabat. Saya kembali menengok Galunggung. Walau sudah sangat berbeda dengan pemandangan dalam kenangan saya, tetap saja tak menghilangkan kesan merinding dalam diri saya. Galunggung dengan letusan yang dahsyat. Awan panas yang bisa ngibrit hingga 6 km jauhnya. Tinggi asap erupsi bisa mencapai 30 km! Perjalanan dimulai dari rumah seorang guru di Salawu. Malam sebelumnya Bapak ada acara pengajian. Sedianya bapak akan langsung pulang ke Bandung. Namun ternyata ingin ikut juga ke Galunggung. Dan setelah menyantap ikan bakar dan goreng dari hasil pancingan di kolam, maka kami menunju Galunggung. Tarik maanng. Ternyata Bapak masih ingin silaturahim dengan sejawatnya di Majlis Mujahidin yang memilii pesantren di desa Padakarny. Akhiranya kami ke sana dan ternyata begitulah kalau bertemu teman akan sangat lama ngobrolnya. 2 jam kira-kira kami menunggu beresnya silaturahim itu. Akhirnya bapak dan KH. Iik Abdul Haq yang memiliki pesantren dengan nama Al Mukhtar keluar dan mengajak untuk melangsungkan perjalanan. Perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri jalan yang kecil dan berkelok. Sebagian jalan cukup rusak parah, disambung dengan jalan yang mulus hingga gerbang masuk Galunggung. Setelah membayar karcis masuk kami segera menuju puncak Galunggung. Jalan kembali berkelok dengan dipayungi awan yang kelabu. Awan itulah yang dari awal ingin saya hindari. Ternyata ada juga yang berjalan kaki dari gerbang pertama hingga puncak. Jaraknya sih bisa dikatakan jauh. perkiraan saya hingga 2.5 km dengan jalan menanjak. Kalau tak mau jalan kaki, pergunakan ojek yang cukup banyak mangkal di sekitar gerbang.
Gerbang karcis kedua Eh ada gerbang karcis lagi? retribusi parkir katanya. Padahal di atas juga kendaraan masih harus membayar uang parkir kepada tukang parkir lokal. Mengapa ndak sekalian di bawah tadi ya retribusinya? Bagi-bagi rejeki kata teman saya. Ya sudahlah kalau begitu. Bayar. Sampai di tangga untuk ke puncak, mobil kami parkir di tempat yang sudah penuh. Agak susah juga mencari tempat parkir. Waktu liburan, Galunggung memang cukup banyak pengunjungnya. Tak hanya dari Tasik Malaya, dari Bandung, Jakarta dan bahkan Lampung. Setelah mendapatkan tempat parkir maka kami bersiap untuk menuju puncak. Anak tangga pertama. Sambil melihat ke puncak, ciut rasanya semangat ini untuk menaklukan 620 anak tangga... waah itu baru anaknya belum ibunya. Ya 620 anak tangga itu untuk mencapai puncaknya saja. belum kalau mau turun hingga kawah. Kebanyakan memang sampai di puncak pertama. Di situlah tujuan kami. Bapak yang berumur 75 tahun sedikit demi sedikit menapaki satu demi satu anak tangga itu. Usia yang tak lagi muda cukup memaksa untuk sering istirahat. Khawatir juga melihat kondisi bapak yang terlihat kepayahan walau bapak menyembunyikannya. Pak Dani, salah satu yang ikut rombongan kami sudah menyerah di awal-awal tangga. Dia turun lagi dan menunggu kami.
620 anaknya Perlu waktu 30 menitan untuk sampai ke puncak. Kalau masih muda dan kuat waktu yang dibutuhkan akan lebih sedikit. Tapi banyak anak muda perokok yang juga kepayahan menapaki tangga tiu. Tak sedikit pula yang turun lagi. Ogah untuk mendaki tangga itu. Akhirnya terpaan angin puncak Galunggung menerpa wajahku. Udara masih cukup cerah untuk menikmati puncak galunggung barang beberapa saat. Beberapa pasangan muda yang dimabuk asmara rupanya lebih menikmati suasana mereka sendiri dan abai dengan sekelilingnya. Saya juga larut dalam bayangan saya sendiri pada letusan Galunggung yang hanya menyisakan 5 % dari kubah lava (?). Saya teringat nasehat para pengakrab gunung, "hati-hatilah berdekatan dengan gunung berapi karena tabiatnya tak bisa ditebak. Dia bisa saja berubah dalam hitungan detik. saat ini tertidur tapi bisa dengan tiba-tiba menjadi murka". Bayangkan saja jika Galunggung tiba-tiba murka kembali. Ratusan orang di puncak itu akan menjadi korban pertamanya, termasuk saya. Beberapa titik air turun seakan memberitahu untuk segera turun. Kami bersiap turun. kabut juga mulai menutupi area puncak dan jarak pandang semakin pendek. Namun justru di situ saya mendapat pemandangan menakjubkan. Dalam jarak pandang yang pendek dan berkabut saya yang saat itu masih di puncak melihat berduyun-duyun orang masuk ke dunia lain. Dunia di seberang kabut itu. Mistis. Sayang saya hanya berbekal HP untuk memoto pemandangan menakjubkan itu. Bergegas kami turun berlomba dengan rintik hujan yang semakin deras. Dan 10 menit saja kami sudah sampai ke tempat parkiran. Aku bertetangga dengan Galunggung
Jalan yang cukup parah
Gerbang pertama. Bayar karcis
Mistik
Gerbang menuju alam lain
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya