Menurut beberapa literatur, kata munggah (sunda) berarti mencapai tempat tertinggi dan abadi. Munggah artinya mencapai tempat roh atau atma dan berdiam selamanya dalam nirvana. Kita mengenalnya sebagai Surga.
Munggahan memang merupakan ekspresi masyarakat Sunda terkhusus untuk menyambut Ramadhan. Biasanya munggahan dilakukan sehari sebelum masuk ke bulan yang mulia. Model itu sepertinya juga dilakukan di berbagai belahan dunia. Di Nias Selatan, masyarakat muslim akan membersihkan kuburan kerabatnya dan setelah itu akan nyebur di pantai atau sungai.
Kalau tak salah sih ide munggahan ini terlontar saat Mbak Wardah Fajri berkumpul dengan personel JKT48 eh, maksudnya dengan personel KBandung di sela-sela Kompas Kampus Bandung (Sabtu, 23 Mei 2015).
Mendekati hari H, Mbak Wardah memberi kabar Kang Pepih Nugraha juga akan hadir memberikan blogshop untuk KBandung. Satu hal yang luar biasa buat KBandung bisa menimba ilmu dari pendiri Kompasiana.
Subuh tanggal 7, beberapa Kompasianer Bandung sudah berkumpul. Mbah Wardah, Susanti Hara, Bang Aswi lengkap dengan kedua anaknya dan tak ketinggalan Bunda Intan R serta saya. Untuk mengejar waktu dan mentari saya berinisiatif membawa Kompasianer dengan mobil sampai ke Kampung Pasanggrahan.
Perjalanan ini sangat berbeda, sebab saya sendiri belum pernah lewati jalan yang ternyata jauh juga. Kedua, melewati jalan itu terasa banget sensasional. Kami harus pasang mental kuat-kuat berhadapan dengan gonggongan anjing. Entah mengatakan selamat datang atau ingin menegaskan “eh lu asal tahu aja ya, lu masuk wilayah gue”. Selain mental, lutut juga mesti kuat menaiki tanjakan dan turunan yang terjal. Masih untunglah saya Cuma menggendong kamera ketimbang Bang Aswi harus menggendong anaknya. Fiuh…
Jalur itu memang tak pernah dilewati pengunjung Tebing Keraton. Makanya selama perjalanan kami tak pernah bertemu siapapun. Daaan setelah melewati 113 anak tangga yang ditinggal ibunya, kami langsung nongol di depan pintu masuk Tekra. Legaaaa.