Suatu hari, seorang tamu datang ke pesantren dan meminta izin untuk shalat di masjid. Sebelum shalat, ia bertanya, "Shalatnya sidakep atau lurus?"
Saya menjawab, "Silakan sesuai dengan madzhab yang dianut. Di sini, masjid menghormati semua madzhab dan ramah terhadap perbedaan."
Kemudian, ia melaksanakan shalat dengan tata cara madzhab Syiah, sementara para santri memperhatikannya. Saya berpikir, penting bagi para santri untuk mengenal dan melihat berbagai perbedaan agar mereka memahami keberagaman dalam Islam.
Di Pesantren Babussalam, keterbukaan terhadap perbedaan madzhab sebenarnya sudah berjalan, meskipun masih terbatas pada madzhab-madzhab yang umum dianut dalam Islam. Madzhab Syiah, misalnya, tidak sepopuler yang lain. Namun, langkah ini penting agar Masjid Babussalam dapat menjadi contoh masjid yang benar-benar ramah bagi semua Muslim, tanpa membeda-bedakan madzhab atau golongan.
Masjid bukanlah milik satu kelompok, madzhab, atau organisasi tertentu, melainkan rumah Allah yang diperuntukkan bagi seluruh kaum Muslimin. Sebagaimana dalam Al-Qur'an disebutkan bahwa masjid didirikan atas dasar ketakwaan (QS. At-Taubah: 108), maka seharusnya siapa pun yang bertakwa kepada Allah berhak beribadah di dalamnya.
Jika kita menengok sejarah Islam, masjid pada masa Rasulullah adalah tempat yang menyatukan berbagai suku dan golongan Muslim. Di dalamnya, ada kaum Muhajirin dan Anshar, ada orang Arab dan non-Arab, bahkan ada orang-orang yang baru masuk Islam. Mereka semua diterima dengan tangan terbuka, tanpa diskriminasi.
Oleh karena itu, masjid yang benar-benar mencerminkan ajaran Islam harus menjadi tempat yang inklusif, tempat di mana setiap Muslim, tanpa memandang madzhab atau latar belakang ormasnya, dapat beribadah dengan tenang dan khusyuk.
Mengapa Masjid Harus Ramah bagi Sesama Muslim?