Peristiwa 10 Asyura tentang pembantaian keluarga Nabi Muhammad Saw tak luput dalam pandangan Maulana Jalaluddin Rumi. Dalam syair-syairnya (Ghazal bait 2707), Rumi memotret dan memberikan pandangan tentang kejadian besar tersebut.Â
Dalam buku ke enam Matsnawi, Maulana memulai dengan sebuah kisah berkaitan dengan hari Asyura di Aleppo, sebuah kota dengan mayoritas penduduk Syiah. Di hari Asyura, penduduk kota Aleppo berkumpun di Baba Antiokia. Tempat ini semacam gerbang kota kuno dan tempat berkumpul orang banyak. Dalam kumpulan yang sangat besar itu, dibacakan berbagai musibah dan ujian untuk keluarga suci Nabi. Para pendengar itu kemudian menangis mengingat penderitaan keluarga suci itu.
Hari Asyura semua penduduk Aleppo berkumpul di Gerbang Antiokia
Lelaki dan perempuan mengenang keluarga suci, berkumpul dalam majlis agung
artinya, penduduk Aleppo pada saat itu terbiasa melakukan majlis perkumpulan kesedihan. acara seperti itu bisa berlangsung dari pagi hingga malam hari.Â
tangisan mereka berasal dari hati terdalam, melibas kesepian padang sahara.
Dalam peristiwa itu, dibacakan kezaliman dan kekejian Yazid dan Syimr kepada Al Husein dan keluarganya. Peristiwa besar yang tak bisa luput dari catatan sejarah. Dalam hal ini, Rumi menunjuk Yazid dan Syimr sebagai pelaku utama kejadian Karbala ini.Â
Rekaman Rumi tentang kejadian di Aleppo itu dilengkapi dengan kedatangan seorang penyair asing ke kota Aleppo. Penyair itu rupanya betul betul asing sehingga dia bertanya ke sana kemari tentang acara perkumpulan yang dilakukan penduduk Aleppo. Penyair itu keheranan mengapa penduduk di situ pada menangis dan merintih mendengar bacaan maqtal. Â
Kepada penyair asing tadi Rumi menjelaskan bahwa harusnya peristiwa asyura itu dikenali oleh orang mukmin dan pencinta Nabi. Tak selayaknya orang yang mengaku beriman melewatkan kejadian besar ini. Kata Rumi :
"Tidakkah engkau tahu bahwa hari Asyura adalah hari duka cita
Satu jiwa suci ini lebih utama ketimbang seluruh abad?
Bagaimana bisa tragedi ini dianggap ringan oleh seorang mukmin hakiki?
Kecintaan kepada anting (Husain) sama dengan kecintaan kepada telinga (Nabi Muhammad saw).
Dalam pandangan mukmin sejati, duka cita kepada ruh murni lebih agung ketimbang ratusan banjir pada (zaman) Nuh"Â