Sebagai seorang lokomotif pemikir muslim Indonesia, Pak Jalal sering menciptakan kontroversi pemikiran. Hal yang paling kontroversial tentu saja tentang kesyiahannya. Gagasan-gagasan untuk menyegarkan pemikiran Islam lebih sering tertutupi pilihan madzhabnya itu. Karena pilihannya itulah kemudian beberapa tahun terakhir ini sering muncul caci maki dan cercaan dari kaum tak tercerahkan.
Stigma sesat dan halal darahnya adalah sesuatu yang gampang ditemukan di jejak jejak digital. Cacian dan makian berhamburan dari para pembencinya. Pembubaran pengajian hingga ancaman teror telah menjadi santapan rutinnya. Terakhir, sebuah kampus berlabel Islam di Bandung membubarkan acara yang didedikasikan untuk mengenang kepergiannya.
Lalu bagaimana sikap Pak Jalal menghadapi semua itu? Seperti biasa Pak Jalal hanya tersenyum dan tak menggubris itu. Anjing menggonggong kafilah berlalu, mungkin itu yang ada di benak Pak Jalal. Semua tak dilayani, kecuali yang masuk dalam ranah intelektual.
Bukan hanya mendiamkan, Pak Jalal sering mengungkapkan bahwa seharusnya beliau berterima kasih sekali kepada pembencinya. Berkat merekalah namanya sering disebut dan menjadi semakin besar. Karena itu, dalam beberapa kesempatan, kepada para “pencintanya” itu, pak Jalal menyuruh para muridnya untuk mengirimkan bingkisan dan hadiah. Pak KH. Muchtar Adam menyebut bahwa Pak Jalal ikut dibersarkan oleh para pembencinya. Eh, pencintanya.
Tapi setelah meninggal, Pak Jalal justru melawan stigma stigma atas dirinya. Bagaimana bisa?
Pak Jalal melawan stigma dan berbagai cap negatif atas dirinya justru lewat para tokoh da para pencintanya. Jika keimanan harus ditunjukan berdasar penilaian manusia maka kesaksian-kesaksian dari media massa, para intelektual muslim, murid serta para pencintanya bisa jadi tolok ukur.
Lihatlah betapa mereka terkaing kaing saat media massa dan tokoh-tokoh menyebut pak jalal sebagai cendekiawan muslim. Segera mereka mengeluarkan jurus caci maki dan mengeluarkan kartu merah sesat. Seakan keimanan harus melewati persetujuan mereka. Tapi apalah artinya buih seperti itu di hadapan monumen gemilang kecendekiawanan Pak Jalal yang sangat gemilang.
Semalam, dalam acara yang diadakan Cak Nurian, berbagai tokoh memberikan kesaksian atas pencapaian dan pengaruh Pak Jalal. Sesuatu yang membuat mereka frustasi dan akhirnya hanya bisa menggonggong saja atas kafilah cinta yang diangkut Pak Jalal.