Kakimu tidak mengeluh?
Masih terlalu pagi untuk menunggu bus di halte. Belum ada bus yang lewat, warung di seberang jalan pun belum buka. Masih terlalu pagi juga untuk mengeluh. Yah. Perjalanan ini akan menyulitkanku, tapi entah bagaimana setiap harinya aku harus pergi. Barangsiapa pergi menjemput ia tak akan merasakan pilunya menunggu. Perjalanan akan selalu diinisiasi, karena tanpa tekad berpetualang di negeri pengembara, aku tak punya apa-apa.
Kota Satu
Kursi di sampingku kosong, seperti hari yang lalu memang dibiarkan kosong. Aku tak mencoba mengelak dari keluhan, hanya saja perjalananku di dunia ini memang sendiri, maksudku, kita semua sendiri-sendiri, hidup sendiri, mati sendiri. Pertanggung jawaban selalu membuntuti masing-masing kita, dan kita akan menjawabnya sendirian di kala gelap gulita.
Sederhana, sendiri dan sepi seperti asalnya. Kota yang baru kusambangi ini memberi kilasan ingatan akan masa silam dalam rahim ibu. Gelap, sunyi, dan sedikit hangat. Amankah? Tidak begitu aman karena rentan, ketika turun di halte kota ini, aku hanya ingin menangis memeluk ransel dan aku merasa tidak aman.
Seraya terisak, bersautan isakan-isakan lainnya, lebih nyaring dan lebih berisik. Isakan karena merasa tidak aman itu sulit kudefinisikan, apakah aku lapar, apakah ingin buang air, ataukah hanya kepanasan. Tak bisa kujelaskan, tak bisa berkonsentrasi karena tangisan-tangisan mungil itu bersamaan meramaikan kota yang tadinya sunyi namun masih tetap gelap. Satu jam telah lewat, bus akan segera berkunjung sesaat. Ketika itu tiba, aku sudah harus menunggunya di halte. Aku tidak mau tinggal lebih lama di kota ini.
Kota Dua
Bus seakan tidak ingin menyiakan waktunya, ia datang tepat waktu dan melesat dengan amat gesit. Tak lebih dari satu jam aku telah diturunkan di Kota Dua. Ingatan akan kota sebelumnya masih menuturiku, aku tidak bisa antusias mengupas kota kedua ini karena ketakutanku. Tapi kakiku sudah berpijak, dan aku harus bertahan seperti yang selalunya.Â
Aku menatap langit, yang kudapati adalah silau karena cerahnya kontras di kota ini. Tidak kelam, tidak sunyi dan tidak menakutkan. Kota dua sangat berbunga-bunga dan ceria, banyak anak-anak bermain bersama, kota ini sangat ramah bermain atau dalam kata lain, seluruh kota ini adalah arena bermain! Aku yang saat kecil sangat lincah memainkan permainan-permainan tradisional merasa tergugah, perjalananku ke sini terbayar, aku siap membuat banyak teman baru dan melakukan hal baru.
Meskipun matahari masih tegas dengan pancarannya, aku tetap asyik bermain sembari mengusap keringat berkali-kali. Lelah kalah dengan seru. Terdengar tawa yang nikmat dimana-mana. Kesanku akan kota ini hanyalah seindah pelangi. Akan dengan senang hati bila suatu hari dapat berkunjung lagi kesini. Kenapa? Karena aku tidak bisa menetap, aku harus melanjutkan perjalananku kebetulan tepat 5 menit lagi bus selanjutnya akan tiba. Yang kusadari adalah langkah menuju halte semakin berat.
Kota Tiga
Pada kaca bus kusandarkan kepala yang dipenuhi kenangan akan kota sebelumnya. Diri ini masih tidak rela meninggalkan keseruan di sana. Aku rindu keramaian, keceriaan, sesungguhnya aku tidak cocok dengan serba kesepian yang kualami sekarang ini. Aku tidak layak mendapatkan ini... dasar peratap.
Kota Empat
Mendung, tapi juga cerah. Apakah cuaca di kota ini memang tidak menentu? Ah, aku melangkah sembarang kemana kaki ingin membawa. Aku melihat beberapa orang berlalu lalang dengan urusannya masing-masing. Halte di kota ini terlihat lebih banyak dari 3 kota sebelumnya.Â
Meskipun aku tak mengerti mengapa bisa begitu. Ketika berjalan-jalan di pusat keramaian, kulihat beragam cafe, ada cafe keramaian dan cafe kesendirian. Seperti pengelompokan extrovert dan introvert. Lagi-lagi aku tak memahami alasannya. Aku hanya ah, tidak karuan. Rasanya aku belum siap karena masih membayangkan kenangan akan Kota Tiga.
ku"Mau berteman denganku?" orang itu mengahampiri ketika aku sedang tidak ingin melakukan apa-apa. Tapi ia tersenyum sementara aku kaku masih terdiam.
"Sepertinya kamu orang baru di sini, aku bisa membantumu." Lumayan juga,
Dia adalah teman pertamaku. Seseorang yang bisa kupercaya hingga saat ini. Meskipun kami berteman, terkadang banyak hal yang tidak bisa kumengerti tentang dia. Begitupun dia selalu mempermasalahkan bawaan diriku yang tak sama dengannya. Pertemanan tak selalu indah, esoknya  kami bahkan seperti orang yang tidak saling mengenal. Dan itu terjadi begitu saja, sulit dipercaya.
Kota ini sangat kejam, terkadang aku dipaksa untuk berlaku seperti yang tidak pernah kucoba sebelumnya. Mereka menuntutku, dan aku sangat rapuh akan perubahan mendadak. Ketika putus asa dan ingin segera pulang saja, aku teringat perkataan Pak Supir. Kiranya ini yang menguatkanku beberapa hari ini.
Huft,
Aku tidak tahu harus bagaimana, aku tidak tahu apa yang sebaiknya kulakukan. Aku tidak tahu ini hari apa, tanggal berapa. Tapi aku masih ingat kapan Indonesia merdeka. Dan kenangan, menurut Pram adalah tanda bahwa kematian mulai meraba jiwa. Nahasnya saat seperti ini aku hanya sibuk mengenang. Apabila hanya itu yang kulakukan, aku bisa benar-benar mati tanpa tiba.
Tiba di mana? Pak Supir bilang, apabila aku melewati Kota Empat dengan baik, aku akan menjadi diri yang sederhana dalam sebaik-baiknya, kembali seperti asal, fitri, menjadi kelopak yang cantik dan murni. Wajahku akan seperti kapas, pucat dalam artian yang bahagia dan tidak dibuat-buat.
 Tapi seharusnya aku sadar bahwa semua ini berkaitan dengan serangkaian proses keadaan yang berlangsung, dan prosesi ini tidak ada akan berhenti namun bukan tanpa perhentian. Aku memang diajarkan Tuhan menanti, tetapi menanti itu juga boleh sembari menjemput.Â
Dalam menjemput juga ada penantian hingga tiba. Tapi tiba dimana? Fitri, segala sesuatu yang berhubungan dengan sifat asal, yaitu kesucian yang murni sebagai manusia. Dan perjalanan ini adalah perjalanan kembali menuju fitrah manusia, apabila ia menginjakkan kaki di bumi ia mengasihi bumi sebagaimana ia memuliakannya sebagai makhluk Tuhan, apabila ia bertemu dengan manusia ia mengasihinya melebihi kasih sayangnya terhadap diri sendiri.
Merenung, hanya mereung.
Seputih kapas dan seringan kapas ketika diri mengosongkan diri dari semua yang menekan gaya ke permukaan bumi. Seperti kapas, kenangan mudah terhempas angin. Angin membawa ke tempat yang lebih tinggi, dan kapas senang dengan desir yang membuatnya menari.
Seseorang yang duduk di halte itu, dalam dadanya ada yang menari karena setelah sekian lama ia akhirnya menanti yang ingin ia nantikan; sebuah perjalanan menjemput.
Facebook : Fajruddin Muchtar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H