Tiba di mana? Pak Supir bilang, apabila aku melewati Kota Empat dengan baik, aku akan menjadi diri yang sederhana dalam sebaik-baiknya, kembali seperti asal, fitri, menjadi kelopak yang cantik dan murni. Wajahku akan seperti kapas, pucat dalam artian yang bahagia dan tidak dibuat-buat.
 Tapi seharusnya aku sadar bahwa semua ini berkaitan dengan serangkaian proses keadaan yang berlangsung, dan prosesi ini tidak ada akan berhenti namun bukan tanpa perhentian. Aku memang diajarkan Tuhan menanti, tetapi menanti itu juga boleh sembari menjemput.Â
Dalam menjemput juga ada penantian hingga tiba. Tapi tiba dimana? Fitri, segala sesuatu yang berhubungan dengan sifat asal, yaitu kesucian yang murni sebagai manusia. Dan perjalanan ini adalah perjalanan kembali menuju fitrah manusia, apabila ia menginjakkan kaki di bumi ia mengasihi bumi sebagaimana ia memuliakannya sebagai makhluk Tuhan, apabila ia bertemu dengan manusia ia mengasihinya melebihi kasih sayangnya terhadap diri sendiri.
Merenung, hanya mereung.
Seputih kapas dan seringan kapas ketika diri mengosongkan diri dari semua yang menekan gaya ke permukaan bumi. Seperti kapas, kenangan mudah terhempas angin. Angin membawa ke tempat yang lebih tinggi, dan kapas senang dengan desir yang membuatnya menari.
Seseorang yang duduk di halte itu, dalam dadanya ada yang menari karena setelah sekian lama ia akhirnya menanti yang ingin ia nantikan; sebuah perjalanan menjemput.
Facebook : Fajruddin Muchtar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H