[caption id="" align="aligncenter" width="602" caption="Ilustrasi - Walisongo (http://2.bp.blogspot.com)"][/caption]
Seorang muballigh Wahhabi muda mengatakan dalam pengajiannya "Wali Songo itu nggak ada bukti yang otentik, hanya kata kata anu, kata sepuh kita, kata ini kita, mana... (buktinya)?, apakah Walisongo meninggalkan buku? tulisan?!. Kalau Imam al-Bukhari ada, Shahih Bukhari. Imam al-Syafi'i ada, Al-Umm. Imam Ahmad, (ada) Musnad Imam Ahmad bin Hanbal. tapi nggak ada kitab Sunan Bonang? , adanya Sunan Abu Daud, Turmidzi, Ibnu Majjah. gitu ya.. sementara kitab Sunan Bonang nggak ada, Sunan Gunung Jati, nggak ada.” (sumber)
Berdasarkan pemahaman dia yang tentu saja paling benar, bisa saya simpulkan bahwa Nabi Muhammad juga tidak otentik karena tidak menulis sebuah buku. Coba tunjukan pada saya buku yang ditulis oleh Nabi Muhammad sendiri. Tidak akan ada. Dalam hal ini Bukhari, Imam Syafi’I atau bahkan teman-teman blogger saya lebih hebat dari Nabi karena meninggalkan tulisan.
Bagaimana dengan hadis? Hadis itu juga sebetulnya isinya hanya katanya dan katanya. Coba lihat sanad-sanad hadis, isinya kan, rantai sanad dari perawi hingga sumber berita. Haddatsana fulan ‘an fulan ‘an fulan ‘an fulan... Berarti hadis itu juga tidak otentik. Apalagi sejarah penulisan hadis dimulai pada secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd. Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijrah.
Bahkan pada masa Khalifah Abu Bakar, buku-buku kumpulan hadis dibakar dengan alasan khawatir tercampur dengan Al Qur’an. A’isyah mengatakan (tuh kan katanya lagi) : “Ayahku mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah, dan jumlahnya kurang lebih ada 500 buah, dan kemudian ia menghabiskan malam itu tanpa tidur hanya berguling-guling di tempat tidur. Aku mengira bahwa ia sedang marah karena seseorang mungkin membuatnya begitu, atau mungkin ia mendengar berita yang tidak mengenakkan. Di keesokan harinya, ia berkata kepadaku, ‘Oh, anakku! Bawakanlah hadits-hadits yang ada padamu itu kepadaku,’ kemudian aku membawakan hadits-hadits itu kepada ayahku dan kemudian ia membakarnya.”
Rasul kan meninggalkan Al Qur’an. Ah. Itu mah bukan karangan Rasulullah. Lagi pula Al Qur’an sendiri baru dikumpulkan setelah meninggalnya Rasululllah (itupun masih dengan kesaksian dua orang), jadi Al Qur’an (menurut cara berpikir ustad nan berkah itu) pun tidak otentik. Mungkin Rudi Paret, orirentalis asal Jerman itu benar ketika menulis; “kami tidak mendapatkan bukti apa-apa yang bisa meyakinkan kami walau satu ayat saja yang original berasal dari nabi Muhammad.”
Jadi yang otentik mana? Tentu saja hanya sang ustad itu yang otentik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H