Mohon tunggu...
Fajr Muchtar
Fajr Muchtar Mohon Tunggu... Guru - Tukang Kebon

menulis itu artinya menyerap pengetahuan dan mengabarkannya https://www.youtube.com/c/LapakRumi

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sepenggal Jejak dalam Sebingkai Selfie

21 Mei 2015   20:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:44 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="538" caption="Hidup itu adalah untuk memberi manfaat sebanyak-banyaknya untuk orang lain kata Baginda Nabi (dokumen di Mesjid Baiturahman Banda Aceh, setahun setelah Tsunami)"][/caption]

Setelah gegar hati karena jaringan internet di rumah sedang kacau balau dan belum ada perbaikan dari Telkom, saya ngacak ngacak cd dokumentasi lama yang membuat saya menemukan beberapa foto yang mengingatkan saya pada beberapa perjalanan ke Aceh, pada tahun 2005-2006 pasca Tsunami.

Tahun segitu ya, istilah selfie kayaknya belumlah seramai sekarang ini.  Tahun-tahun ini adalah masa kejayaan Multiply yang sekarang sudah almarhum (duuh, jadi kangen deh sama MP). Kamera yang dipakai juga masih kamera biasa. Sehingga membidiknya membuat kesulitan tersendiri. Beberapa foto malah tidak kelihatan wajahnya. Mungkin kalau menggunakan kamera Hp android seperti produk Smartfren tidak akan sesulit saat itu. Pada Smartphone Smartfren seperti Andromax C3s telah ditanami chipset Qualcomm Snapdragon serta ditenagai prosesor bertenaga Dual Core dengan kecepatan 1.2GHz Cortex A7 yang menjamin kecepatan penggunaan. Pada segi desain grafis Smartfren Andromax C3s, menggunakan prosesor grafik dari Adreno 301 yang mampu menghasilkan graphic yang bagus. Apalagi jika kita melihat spesifikasi Andromax C3s yang memiliki kamera depan 5 MP dengan dual LED Flash, sehingga nyaman dipakai malam hari atau ketika cahaya depan sangat minim. Foto di atas merupakan foto saat saya dan Bapak saya meninjau ke lokasi pembangunan sekolah di beberapa tempat di Aceh. Yang pertama adalah aceh besar dan yang kedua adalah Aceh Barat (Meulaboh). Tahun itu, Bapak sudah mendekati umur 70 tahunan namun semangatnya masih seperti pemuda-pemuda harapan bangsa. Kepiawaiannya menjaga kondisi tubuhnya diperlihatkan lewat foto ini. Durian Meulaboh yang memang matang di pohon bisa dilahap sendiri dan tidak ada pantangan dalam hal makanan. Padahal untuk umur seperti itu, beberapa makanan biasanya sudah menjadi pantangan. Mungkin saja kebiasaannya mengkonsumsi jamu dan dedaunan obat membuatnya tetap sehat dan bugar. [caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Orang muda adalah yang senantiasa mempunyai cita-cita, walaupun dia sudah di angka 70 tahun "][/caption] Di tempat ini saya dipercaya untuk menjadi pimpro pembangunan sekolah. Di Gunung Mas Meulaboh ini sudah ada fondasinya. Namun selama bertahun-tahun, pembangunan tidak pernah diteruskan. Maklum saat itu sedang kondisi kampanye sehingga dana cukup besar untuk meraih simpati sesaat digelontorkan. Termasuk ke dayah (pesantren ini).  Maka ketika kami datang untuk melanjutkan kembali pembangunan yang tertunda sangat lama itu, Pak Kyai pengurus dayah di Gunung Mas sangat senang. Bagi saya sendiri, perjalanan ke Aceh adalah sebuah perjalanan yang sarat dengan pembelajaran. Dari perjalanan ke Aceh (dan juga perjalanan membangund sekolah di tempat lain) saya mendapatkan pengalaman luar biasa. [caption id="" align="aligncenter" width="512" caption="mengunjungi kuburan ulama selain mengingatkan pada kematian juga menyerap semangatnya (berkunjung ke kubur Syiah Kuala)"][/caption]

Pelajaran paling utama yg saya dapat dalam perjalanan ini adalah tentang perjuangan membangun bangsa. Bapak sering bilang bahwa kalau bangsa ini ingin maju, maka sektor pendidikan haruslah digarap dengan serius.

Maka, dari semangat membangun bangsa itu kemudian lahir sekolah-sekolah di berbagai tempat. Yang membahagiakan, saya ikut merintis beberapa sekolah di pelosok Indonesia. Sebut saja Aceh, Nias dan Wakatobi. Ada jejak yang berhasil saya torehkan di tempat-tempat itu. Walaupun tidak kelihatan di sana, paling tidak ada beberapa fotonya. Termasuk yang pose-pose selfie.

Memang, kesempatan ke tempat-tempat itu saya pergunakan juga untuk mengunjungi tempat-tempat yang menarik. Di Banda Aceh, tentu saja Mesjid Baiturahman menjadi tempat yang harus dikunjungi. Saat Tsunami melanda, mesjid ini menjadi tempat penampungan mayat-mayat yang jumlahnya ribuan.

[caption id="" align="aligncenter" width="387" caption="Dahsyatnya Tsunami menjadi pengigat akan kuasa Ilahi"][/caption]

Saya sempatkan juga mampir ke Makam ulama terkenal yang namanya diabadikan menjadi sebuah perturuan tinggi, yaitu Syiah Kuala.  Mengunjungi kuburan para ulama selain mengenang kematian, juga menyerap semangat perjuangannya.  Saat saya ke sana kondisinya memang masih berantakan dan belum ada perbaikan.

Selain tempat itu menarik, nama dari ulama terkenal itu sangat menarik perhatian. Namanya mengingatkan saya pada satu madzhab Islam yang banyak diikuti oleh orang-orang Iran. Apakah nama itu merujuk pada madzhab itu atau tidak, mungkin para ahli sejarah bisa mengurainya.

Tak lupa saya menginjakan kaki di Indonesia KM 0 Pulau Weh, Sabang. Dari Lampuuk, kami naik kapal fiber menuju Sabang. Lalu menggunakan mobil ke KM 0. Setelah melewati perjalanan cukup pangjang, kami tiba di Indonesia KM 0. Sebagai bukti kalau kami sudah ke sana, sebuah sertifikat diberikan setelah membayar sejumlah uang (saya lupa nominalnya).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun