Mohon tunggu...
Fajr Muchtar
Fajr Muchtar Mohon Tunggu... Guru - Tukang Kebon

menulis itu artinya menyerap pengetahuan dan mengabarkannya https://www.youtube.com/c/LapakRumi

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Mengenalkan Keagungan Leluhur dengan Wisata Ke Gunung Padang

21 Oktober 2014   22:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:13 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sehari setelah melakukan wawancara di ajang pameran IIMS 2014, teman saya, Misbah, mengajak pergi ke Gunung Padang. Segera saja saya menyetujui ajakannya. Akhirnya dua keluarga yang harmonis dengan nasib yang hampir sama ini pergi ke Gunung Padang. Nasibnya sama karena seperti saya, dua anaknya juga nyantri di tempat yang jauh. Dua anak saya dan istri nyantri di Tebu Ireng, sementara dua anaknya Kang Misbah dan Emas nyantri di Tasikmalaya. Yang di rumah tinggal satu anak laki-laki. Sama kan. Untuk menghindari kepadatan lalu lintas bandung Jam 6 pagi hari, kami sudah melesat meninggalkan Bandung. Tahu kan pada hari Ahad itu (28/09/14) Kota Bandung mau memperingati ultahnya yang ke 204. Jalan Dago sudah ditutup saat kami lewat pagi itu. [caption id="" align="aligncenter" width="512" caption="sambil tes hadiah GPS dari Kompasiana (Dokpri)"][/caption] Perjalanan santai dan lancar menelusuri jalur Bandung – Jakarta via puncak. Melewati Situ Ciburuy yang terkenal dalam lagu Bubuy Bulan. Melewati kawasan Tagog Apu yang eksotis dan indah. Perasaan miris terbersit saat melihat gunung-gunung kapur yang indah terkikis sedikit demi sedikit oleh gerusan beko yang menambang bukit kapur tua dan memiliki nilai sejarah yang luar biasa bagi kota Bandung. Di kawasan inilah ditemukan gua pawon dengan kerangka manusia purba bungkuk yang terkenal. Di kawasan ini pula dapat ditemukan jembatan lengkung purba yang sangat langka. Di kawasan ini pula terdapat kawasan bebatuan yang dikenal sebagai garden stone. Aiih mellow banget ya. Mobil terus melaju tanpa hambatan di jalur Rajamandala menuju Ciranjang. Satu-satunya hambatan adalah bunyi koor perut yang meminta diisi dengan sesuatu yang lebih berbobot dari sekedar seduhan kopi. Apalagi anak-anak sudah meminta untuk memenuhi hajat alamiahnya. [caption id="" align="aligncenter" width="512" caption="Nyabu dulu yaa (dokpri)"][/caption] Kami berhenti di tempat bubur ayam Cianjur. Bubur ayam Cianjur memang sedikit berbeda dengan yang biasa dijual di Bandung. Ada tambahan sedikit rempah-rempah dan sayuran yang menambah cita rasanya.Setelah semua kebutuhan alamiah terpenuhi, kami kembali melakukan perjalanan menuju Gunung Padang, sebuah tempat megalitik purba yang misterius dan indah. Tak jauh setelah melewati jalan Warung Kondang sudah ada petunjuk menuju Gunung Padang. Masih 20 km lagi. Kira-kira 1 jam perjalanan karena kondisi jalan yang tidak baik di sebagian besar tempat.

Setelah melewati beberapa jalan yang sangat jelek, melewati kawasan perkampungan dan persawahan sampailah kami di sekitar stasiun tua yang bernama Lampegan. Saya bilang Ke Misbah, nanti saja lihat stasiun Lampegan setelah dari Gunung Padang. Kami pun belok langsung ke Gunung Padang. Melewati jalur berliku dan jalanan yang kecil kami meneruskan perjalanan. Untungnya pemandangan dari Stasiun Lampegan ke Gunung Padang sangat indah. Alam pegunungan yang didominasi perkebunan the menjadi santapan utama mata. Sayangnya perkebunan tehnya, menurut saya kurang terawat dibandingkan yang di kawasan Sari Ater Subang.

Setelah melewati turunan terakhir, sampailah di gerbang pertama Gunung Padang, lalu masuk ke area parkir. Hal baru yang saya lihat semenjak ke Gunung Padang tahun 2010. Selain jalannya yang tetap jelek memang sangat banyak perubahan yang saya lihat. Tahun 2010, bersama rombongan Geotrek Indonesia dan Dinas Pariwisata Cianjur, kami turun lebih jauh karena bis tak bisa turun. Akhirnya kami jalan kaki sejarak 1,5 km. Untungnya ada beberapa mobil yang mengangkut kami dari parkir bis hingga gerbang utama Gunung Padang.

Sekarang semua mobil (ndak semua juga ding) harus parkir di tempat parkir dengan ongkos parkir sebesar 5000 rupiah. Jika tidak mau jalan, bisa menggunakan ojek sampai ke gerbang pertama. Ongkosnya 5000 juga. Kalau mau hingga atas (dekat landasan heli) bayarnya 25 ribu. Kami memilih naik ojek saja hingga gerbang pertama. Setelah membayar karcis 2000 perak (murah amat ya), kami berenam bersiap menaiki Gunung Padang, menjelajahi warisan budaya dan sejarah masa lalu yang masih dipenuhi misteri. Di bawah situ ada personil TNI sedang melakukan shooting dokumentasi. [caption id="" align="aligncenter" width="512" caption="Jalan berliku menuju Gunung Padang (Dokpri)"][/caption] Oh ya, sebelum naik sebaiknya tunaikan dulu kebutuhan alamiah seperti buang air kecil hingga besar sebab di atas tidak ada wc dan sejenisnya. Untungnya sekarang sudah ada wc yang cukup representative yang bisa digunakan pengunjung. Saya mengajak keluarga untuk singgah dulu di sebuah sumber mata air di awal tangga Gunung Padang. Orang umum mengenalnya sebagai sumur jodoh namun sejatinya tempat itu adalah tempat bersuci dan membersihkan diri bagi orang yang mau beribadah di Gunung Padang. Tempat ini memang diduga kuat sebagai tempat peribadatan masyarakat Sunda Purba. [caption id="" align="aligncenter" width="512" caption="Tempat beli tiket (Dokpri)"][/caption] Setelah itu, kami menaiki tangga. Ada dua pilihan tangga. Jalur kiri adalah jalur purba menuju pelataran pertama Gunung Padang. Entah ada berapa anak tangga, saya tak bisa nanya ke ibu tangganya. Yang jelas jalur itu lebih pendek dibanding jalur baru, namun cukup terjal. Jalur kedua di sebelah kanan adalah jalur baru. Tangganya cukup nyaman dan terbuat dari tembok. Namun jalurnya lebih panjang ketimbang jalur pertama. Saya memilih jalur pertama, agar keluarga saya mengetahui dan merasakan sendiri sensasi menaiki tangga Gunung Padang. Justru anak-anak kami lebih semangat menaiki tangga ini sambil eksis selfi di hampir tiap tangganya. Duuh. [caption id="" align="aligncenter" width="512" caption="Icip-icip dulu air dari mata air gampang jodoh (Dokpri)"][/caption] Setelah berhasil menaklukan tangga-tangga purba itu, sampailah di pelataran pertama. Sambil menahan nafas satu demi satu, pemandangan indah dan sungguh menarik terpampang di hadapan kami. Tumpukan batu-batu besar berserakan di mana-mana. Sungguh pemandangan yang sangat menarik. Sambil istirahat dan menarik kembali nafas yang tersengal sengal, Berbekal pengalaman ikut Geotrek beberapa tahun lalu saya menjelaskan sedikit ihwal Gunung Padang. [caption id="" align="aligncenter" width="461" caption="Wah anaku lagi sibuk selfie nih di tangga lama Gunung Padang (dokpri)"][/caption] Dalam perjalanan tahun 2010, saya mencatat bahwa Gunung Padang yang berlokasi di Desa Karya Mukti, Kecamatan Campaka Kabupaten Cianjur, ditemukan pada tahun 1914 oleh sejarawan Belanda bernama NJ Krom. Gunung Padang dalam Bahasa Sunda berarti Caang atau terang benderang. Ada juga yang mengartikan bahwa padang berasal dari kata Pa (tempat), Da (agung) dan Hyang (dewa, leluhur) sehingga artinya adalah tempat agung para dewata atau leluhur. Informasi lainnya, situs Gunung Padang merupakan situs megalitik terbesar di Asia Tenggara. Hal ini menjadi bukti keluhuran bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Sunda. Bayangkan saja jika memang dibangun tahun 4000 SM, maka bisa jadi semasa dengan Nabi Musa dan Fir'aun, dan ketika Musa berdakwah agar Firaun menyembah Tuhan, sekelompok masyarakat nun jauh di sana dan tak terberitakan dalam kitab-kitab suci sudah membangun sebuah tempat yang disinyalir merupakan tempat peribadatan. [caption id="" align="aligncenter" width="451" caption="(Dokpri)"][/caption] Untuk apa dibangun? Siapa yang membangun? Mengapa dibangun di lokasi itu? Dari mana saja material bangunannya dan bangunan apa saja? Itulah yang menjadi bagian misteri dari Gunung Padang yang sedang dipecahkan oleh anak bangsa. Gunung Padang lahir dari kearifan dan keunggulan masyarakat Sunda. Pembangunan Gunung Padang sangat memerhatikan berbagai aspek demi tercapainya harmoni bumi dan langit. Selain pembangunan situs ini terutama pelataran bagian bawah sangat memerhatikan masalah struktur tanah terkait kelabilan area ini dengan cara menyusun tiang-tiang batu secara mendatar dan saling tumpuk menumpuk untuk penguatan. Keren sekali kan teknologi pembangunannya.

Dari analisis astronomi menunjukkan bahwa posisi situs ini pada masa prasejarah berada tepat di bagian tengah lintasan padat bintang di langit berupa jalur Galaksi Bima Sakti dan lokasi situs Gunung Padang pun di sisi atas dan bawah kaki langitnya masing masing dikawal oleh dua rasi yang merupakan penguasa dunia bawah Bumi yaitu rasi Serpens (ular) dan dunia atas (langit) yaitu rasi Aquila (elang). Ternyata perhitungan model ini juga digunakan pada situs-situs megalitik di seluruh dunia seperti budaya Maya dan Mesir. Hal itu memungkikan adanya koneksi antara budaya Sunda Purba dengan budaya Maya dan Mesir serta budaya megalitik lainnya. Hal itu juga menunjukan bahwa leluhur Sunda itu adalah orang-orang pintar dan sangat mengerti perkembangan keilmuan yang luar biasa tinggi.

Baiklah… saatnya penjelajahan warisan budaya leluhur ini. Ada apa saja di Gunung Padang ini? Saat pertama ke Gunung Padang, saya merasa seperti Nicolas Cage dalam film National Treasure. Serakan batu-batu andesit besar, simbol-simbol yang tersebar dan menanti untuk dikumpulkan, disingkap dan dipecahkan. Pelataran Pertama Setelah menaklukan tangga terjal kita akan sampai di pelataran pertama. Gunung Padang memiliki lima pelataran yang memiliki fungsi yang berbeda. Pelatatan pertama memiliki dimensi paling besar dari seluruh pelatatan yang lainnya. Di pelatatan pertama ini terdapat Ruang Kesenian dan Gunung Masigit. Sebelum naik tangga menuju pelataran kedua (sekarang tidak boleh naik lewat tangga itu), terdapat gundukan batu yang membetuk bukit. Jupel menyebutnya Gunung Masigit. Entah dipergunakan apa lokasi itu dulunya. Batu gamelan ini yang menarik perhatian anak-anak dan keluarga. Larangan memukul-mukul bebatuan di area itu tak menyurutkan mereka untuk mencoba batu gamelan dan batu gong yang terletak di ruang yang disebut oleh Juru Pelihara sebagai ruang kesenian. Disebut begitu mungkin dikaitkan dengan adanya dua batu yang mengeluarkan bunyi yang memiliki nada. Ruang Kesenian mempunyai susunan batu tegak seperti pagar di keempat sisinya. Pada struktur ini terdapat dua pintu yang ditandai dengan adanya dua buah batu tegak yang berukuran lebih besar dari batu-batu penyusun batas struktur. Batu gamelan yang mengeluarkan nada setiap dipukul terletak di luar ruangan kesenian. Sementara batu gong berada di dalam ruang. Entah mengapa batu gamelan bisa terpisah dan berada di luar ruang kesenian. [caption id="" align="aligncenter" width="448" caption="mereka antusias mencoba batu gamelan di Gunung Padang (Dokpri)"][/caption] Pelataran kedua Setelah melakukan penjelajahan dan selfie di pelataran pertama, kami menuju pelataran selanjutnya. Sayangnya Gunung Padang saat ini sedang diteliti secara intensif sehingga beberapa spotnya dilindungi oleh pembatas. Saya mencoba memberanikan diri melewati pembatas dengan tali rapia. Ternyata tidak dilarang. Bersama keluarga Misbah kami mencoba menjelajahi pelataran kedua. Ini. Ada Satu tempat yang dinamakan Mahkota Dunia yang digambarkan seperti lumbung dan melambangkan sikap mau berbagi. [caption id="" align="aligncenter" width="512" caption="di pelatarana kedua Gunung Padang (dokpri)"][/caption] Pelataran ketiga Terdapat sebuah batu yang oleh masyarakat disebut dengan “Batu Tapak Kujang” yang berarti “Batu Bekas Telapak Kaki Kujang”. Kujang adalah sebuah senjata tradisional Sunda yang memiliki filosofi mendalam. istilah "kujang" berasal dari kata kudihyang (kudi dan Hyang). Kudi artinya senjata sakti dan hyang artinya para dewa. Jadi Kujang bermakna senjata sakti para dewa. Ada juga Batu Tapak Macan atau Batu Bekas Jejak Telapak Harimau. Secara bercanda Misbah mengatakan bahwa dulu ketika batu itu masih baru dicor ada harimau lewat dan menginjak cor yang masih baru itu sehingga meninggalkan jejak. Sebetulnya bekas tapak ini merupakan sekumpulan lekukan berbentuk bulat pada permukaan kulit batu yang mirip dengan jejak harimau. [caption id="" align="aligncenter" width="556" caption="tapak harimau (dokpri)"][/caption] Pelataran keempat Sebetulnya ada Batu Gendong atau juga disebut Batu Kanuragan yang menjadi simbol kekuatan dan kesuburan. Saat saya ke sana, batu itu tidak ada. Menurut Kang Zaenudin salah seorang Jupel di sana, batu itu diamankan karena khawatir akan mempercepat pelapukan batu yang masih jadi obyek penelitian. Menurut seorang jupel, keberadaan batu kanuragan di tingkat empat itu merupakan isyarat dan symbol bagi yang mau melanjutkan perjalanan ke tingkat lima. Batu itu menggambarkan bahwa untuk mencapai tingkat tertinggi (pelataran ke lima) harus mampu menahan cobaan dan mampu menyelesaikan tingkat sebelumnya. [caption id="" align="aligncenter" width="461" caption="karena batu gendongnya tidak ada, maka batu ini saya coba cabut. Ternyata... tidak bisa (Dokpri)"][/caption] Pelataran kelima Terdapat Singgasana raja yang dikenal dengan Singgasana Prabu Siliwangi. Pelataran kelima merupakan tempat ketenangan karena berhasil melalui tingkatan-tingkatan di pelataran sebelumnya. Anak saya dan temannya seakan tak capai menjelajahi Gunung Padang. Padalah orang tuanya sudah kelihatan letih walaupun nikmat. Banyak pertanyaan yang tak bisa saya jawab tentang Gunung Padang ini. Anak saya bertanya, “Emang di sini ada harta karunnya?” Saya bilang Gunung Padang itulah harta karunnya. Gunung padang adalah warisan budaya yang sangat kaya dan tidak bisa dinilai dengan uang. Dari Gunung Pada kita bisa melihat kearifan, kemuliaan dan keluhuran nenek moyang kita. Itulah harta karun sejati yang sudah seharusnya dipelihara, dan dijadikan monumen abadi peradaban manusia Sunda yang agung. Entah dia mengerti atau tidak. Dengan hati bangga melihat warisan budaya yang luhur nenek moyang, kami kami turun melalui jalur baru. Saat turun saya lihat para ilmuwan peneliti gunung padang yang sedang beristirahat. Saya mengguman dalam hati, semoga di tangan mereka rahasia gunung padang yang agung ini bisa terkuak. [caption id="" align="aligncenter" width="556" caption="singgasana Siliwangi di pelataran kelima (Dokpri)"][/caption] Fasilitas Berbeda dengan tahun 2010 saat saya pertama kali ke sini. Rumah yang dulu dijadikan penerimaan rombongan dan tempat makan sekarang sudah menjadi pusat informasi. Jika dulu kami shalat di sebuah langgar kecil sekarang sudah ada mushala di sebelah pusat informasi. Demikian juga wc sudah tersedia dengan cukup representative. Warung-warung makan juga tersedia. Bahkan ada baiknya pengunjung memesan makanan terlebih dahulu sebelum naik agar pas turun dari Gunung Padang bisa langsung menyantap makanan tanpa GPL (gak pake lama). Bagi yang mau merasakan malam purnama di Gunung Padang bisa menginap dan rumah-rumah penduduk dengan tarif yang murah. [caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Berpikir memecahkan rahasia Gunung Padang (dokpri)"][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="512" caption="Berwisata makin membuat Cinta Indonesia"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun