[caption id="attachment_335710" align="aligncenter" width="512" caption="Baca dan tulislah (Dokpri)"][/caption]
Ada sebuah tulisan menarik di mushala Pesantren kami yang bunyinya “Membacalah, maka dunia akan terbaca olehmu dan menulislah maka kamu akan tertulis oleh dunia”. Tulisan itu langsung menyeret ingatan saya kepada quotenya Pramoedya Ananta Toer yang sangat dahsyat, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tdak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Jika melihat Ayat Al qur’an, salah satu ayat paling panjang berkaitan dengan aktifitas menulis transaksi dengan baik. Nama lain dari Al Qur’an sendiri adalah Al Kitab yang secara harfiah berarti kumpulan tulisan. Artinya bahwa kegiatan menulis adalah sesuatu yang sangat penting sehingga diabadikan dalam ayat yang panjang dan nama dari Al Qur’an.
Berkaca dari Rasulullah, para sahabatnya juga menegaskan arti penting menulis. Imam Ali as mengatakan, “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya”. Sementara sahabat Said bin Zubair menyatakan bahwa ia menulis hadits Rasulullah kadang di tangan dan kulit sepatunya. Mengapa dia melaukan hal itu? Tak lain karena bapaknya menasehatkan, ”Hafalkanlah. Tertutama tulislah. Bila engkau lupa, maka tulisanmu akan membantumu.”
Imam Syafii menggambarkan ilmu sebagai binatang buruan dan menulis adalah ikatannya. Dalam syairnya, Imam Syafi’I mengatakan:
Ilmu adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya,
Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat,
Termasuk kebodohan kalau kamu memburu kijang,
Setelah itu kamu tinggalkannya terlepas begitu sahaja.
Beruntung, sekarang ini kita memiliki yayasan-yayayan yang berkecimpung di bidang Pendidikan. Salah satunya adalah Tanoto Foundation yang digawangi oleh Sukanto Tanoto. Tanoto Foundation yang mengadakan acara Nangkring bareng Kompasiana. Dalam acara bertema Guru Kreatif, Anak Kreatif, Tanoto Foundation menghadirkan nara sumber Rahmat Setiawan (Program Manager Pelita Pendidikan Tanoto Foundation), Dedi Dwitagama (Peraih Guraru Award 2012), Tatang Suratno (Guru salah satu penulis buku “Oase Pendidikan di Indonesia: Kisah Inspiratif Para Pendidik”.
Dari format Nangkring yang beberapa kali diadakan oleh Kompasian dan Tanoto Foundation, terlihat sekali keinginan yang besar untuk mendorong guru agar rajin menulis. Bagi guru, menulis sangat penting dalam kegiatan belajar dan mengajar. Dalam mengajar, seorang guru tidak hanya menyampaikan ilmu yang diketahuinya kepada murid. Ada keahlian lain yang mesti dikuasainya seperti kemampuan komunikasi, berpikir logis dan sistematis. Di bawah ini saya akan menyebutkan “Ayat-ayat” mengapa guru mesti menulis.
[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="belajar membaca dan menulis (Ummy Lathifah)"][/caption]
Ayat 1 : Menulis menuntut berpikir logis dan sistematis
Kegiatan menulis adalah kegiatan yang menuntut agar kita berpikir secara logis dan sistematik. Sebagai produk pemikiran menulis betul-betul menuntut kejernihan berpikir yang berbasis pada klaim, argumen dan data serta kemampuan merangkainya dengan baik.Bisa jadi semuanya terpenuhi, namun cara merangkainya tidak baik sehingga terlihat kacau dan tidak runtut.
Seorang guru yang terlatih menulis, maka lama kelamaan gaya berpikirnya akan semakin logis dan sistematis. Dengan demikian guru sepagai ujung tombak pendidikan akan dapat mentransfer ilmunya dengan baik. Imbasnya siswa juga akan mengikuti pola pikir gurunya.
Ayat 2 : Menulis memaksa kita bertindak hemat dan praktis
Kemampuan menulis kalimat dengan jernih adalah buah dari kemampuan berpikir logis (bernalar) hal itu juga melahirkan sikap hemat dan praktis dalam bertutur. Kalau bisa praktis mengapa harus boros ? kata Mbak Anna Farida salah satu mentor saya.
Salah satu alasan adanya editor adalah karena biasanya penulis boros dengan kata-kata (mungkin karena gratis ya). Coba bayangkan kita harus membaca sebuah kalimat yang panjang padahal bisa disingkat dengan satu kata.Tentu saja hemat, praktis dan efektif ini juga bukan berarti harus kaku.
Rahayu (2007) menyebutkan bahwa Kalimat efektif adalah kalimat yang bukan hanya memenuhi syarat-syarat komunikatif, gramatikal, dan sintaksis saja, tetapi juga harus hidup, segar, mudah dipahami, serta sanggup menimbulkan daya khayal pada diri pembaca.
Tulisan-tulisan saya yang dikirim ke beberapa situs juga biasanya mengalami banyak editing. Sering kali hasil editing berbeda jauh dari tulisan aslinya dari situ saya belajar dan berlatih menghemat kata.
Ayat 3 : Menulis melatih tanggung jawab
Setiap kita membaca artikel di Kompasiana, pasti akan bertemu dengan disclaimer ini, “Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Penulis.” Artinya bahwa setiap menuliskan ide kita mesti siap mempertanggungjawabkannya.
Tulisan (termasuk juga status di medsos) ibaratnya seperti peluru. Sekali sudah ditembakan tak bisa dia dikembalikan. Oleh karenanya sekali melepaskan tulisan seorang penulis sudah harus berpikir untuk mempertanggung jawabkannya sekiranya ada yang mengritik ataupun menilainya.
Sikap bertanggung jawab seperti ini harus dimiliki oleh guru yang kepadanya diamanatkan untuk membina murid yang memiliki akhlak yang mulia.
Ayat 4 : Menulis melatih ketelitian
Penulis selalu disarankan untuk membaca ulang hasil tulisannya. Selain melihat kembali jalinan ide dan logikanya, penulis diharapkan untuk memeriksa kesalahan-kesalahan penulisan, tanda baca ataupun pilihan kata.
Sikap teliti seperti ini sangat penting dalam proses pembinaan siswa. Keragaman siswa dalam berbagai hal menjadi tantangan bagi guru untuk bisa mengarahkannya. Ketelitian dalam menulis pasti sangat bermanfaat dalam proses ini.
[caption id="" align="aligncenter" width="449" caption="membaca bersama (dok. Akoer Lah)"][/caption] Ayat 5 : Menyebarkan ide lebih kekal dan luas
Menulis adalah aktifitas menyebarkan ide. “satu peluru dapat menembus satu kepala tapi satu tulisan dapat menembus 1000 kepala” Kata Sayyid Qutb.
Kekuatan menulis sudah banyak terbukti. Masih ingat Kartini? Ya, tokoh emansipasi wanita Indonesia yang lahir di Jepara pada 1879. Ia telah mengubah dunia perempuan Indonesia lewat tulisan-tulisannya.
Di era digital sekarang ini, tulisan-tulisan menjadi tak lekang oleh waktu dan zaman. Contohnya tulisan saya saja yang berjudul Aplikasi Android untuk Para Guru. Artikel yang diunggah pada tanggal 8 November 2012 itu masih bisa dibaca dan sudah diklik sebanyak 4576. Tulisan lainnya dengan judul Tebing Keraton dan Kisah Mistisnya yang diunggah pada 10 Agustus 2014 sudah diklik sampai 1400 kali.
Ayat 6 : Menulis memperkaya diksi
Menulis bukan hanya menuliskan kata-kata namun bagaimana agar makna yang ingin disampaikan berhasil diikat dengan baik. Untuk mengikat makna dengan baik itu diperlukan pilihan diksi yang kuat dan pas. Coba bandingkan tulisan saya dengan Cak Nun (Emha Ainun Najib). Terasa sekali pilihan katanya sangat berbeda. Tentu saja Cak Nun adalah budayawan dengan perbendaharaan kata yang sangat kaya. Dengan menulis saya mencoba memperkaya kata-kata saya.
Seorang guru pun dituntut untuk kaya dalam kosakatanya sehingga kegiatan belajar menjadi lebih kayak arena kekayaan kosakatanya.
Ayat 7 : Menulis sebagai alat pemaksa membaca
Kata kang Benny Ramdhani, “Sering kali tulisan itu menjemukan lantaran penulisnya miskin diksi. Penyebab pertama, tentu saja penulisnya malas membaca. Sebab membaca akan memperkaya kosakata.”
Hubungan antara membaca dan menulis sangat erat. Menulis memerlukan membaca dan membaca membutuhkan menulis. Satu kata bijak mengatakan , “tidak seorang pun dapat memberikan sesuatu yang tidak ia miliki.” Demikian juga dengan penulis. Seorang penulis tidak dapat mempersembahkan sesuatu kepada orang lain jika dia sendiri kosong.
Dengan membaca, seorang penulis mengisi dirinya. Melalui membaca penulis menjelajah ide dan memetiknya. Ia menemukan ide baru. Dengan menuliskannya ia membagikan penjelajahannya.
Membaca juga akan sangat berpengaruh pada gaya menulis kita. Menurut Mas Hernowo, gaya tulisan bukan dikarenakan seringnya menulis tapi ditentukan oleh buku apa yang sering dibaca. Apa yang diungkapkan Hernowo di atas berlandaskan pada penelitian yang dilakukan oleh Krashen. semakin banyak mereka membaca semakin baik tulisannya.
Saya juga menuliskan di deskripsi Kompasiana saya sebagai motivasi untuk pribadi sebagai berikut, menulis itu artinya menyerap pengetahuan dan mengabarkannya.
Ayat 8 : Menulis dapat jadi penghasilan tambahan
Bapakku adalah seorang guru yang sudah menulis 60 judul buku. Setiap tahunnya beliau mendapatkan royalti yang cukup besar. "Rejeki yang tak diduga" kata Bapak satu saat.
Sebagai seorang guru dan blogger, saya mendapat penghasilan tambahan dari hasil tulis menulis. Beberapa kali saya menjuarai kontes blog yang diadakan Kompasiana dan kontes blog lainnya. Jenis hadiahnya beragam, mulai dari piagam penghargaan, jalan-jalan hingga uang jutaan rupiah. Satu kali menjuarai lomba lebih besar dari gaji yang saya terima. Beberapa bloger senior saya malahan bisa mendapat yang sangat besar dari kegiatan tulis menulisnya.
Ayat 9 : Menulis melepaskan stress
Berhadapan dengan beragam siswa dan tekanan di sekolah tentu saja mengakibatkan stress. Apalagi kalau himpitan itu beradu dengan kebutuhan dapur, stress akan makin bertambah. Menulis adalah sebuah cara luar biasa untuk melepaskan emosi serta beban.
Menulis dikenal sebagai katarsis dari stress. Para ahli sering menyebut metode ini dengan silent abreaction atau melepaskan beban dengan diam. Menurut Dr. Stephen D. Krashen, dalam hasil risetnya yang termuat dalam buku “The Power of Reading”, menulis dapat membantu kita memecahkan masalah yang membelenggu pikiran kita. Karena dengan menulis, kita akan mampu mengekspresikan apa saja yang hendak kita tuangkan, yang barangkali selama ini telah lama terpendam. (sumber)
[caption id="" align="aligncenter" width="417" caption="Bapakku sudah menulis 60 judul buku"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H