[caption id="" align="aligncenter" width="297" caption="Tempo.co.id"][/caption] Penghujung tahun 2014 sekilas mirip dengan tahun 2004. Saat Masyarakat Indonesia bersiap untuk menyambut tahun baru, setelah sebelumnya merayakan natal, tiba-tiba sebuah berita bencana yang belum pernah saya lihat sebelumnya tayang di televisi. Tsunami mahadahsyat menimpa saudara-saudara kita di Aceh.
Saat ini, ketika kita sedang mengingat kembali 10 tahun kejadian besar itu, beberapa musibah besar juga menimpa bangsa ini. Longsor di Banjar Negara yang memakan korban hingga puluhan jiwa. relokasi masyarakat tentu saja memerlukan waktu dan dana yang tidak sedikit. Belum selesai dengan Banjar Negara, Bandung Selatan dihampiri tamu yang sebetulnya sudah diperkirakan. Banjir besar merendam perumahan warga. Dikabarkan air merendam rumah hingga ke atapnya. untuk merekapun dana yang sangat besar tentu saja diperlukan. Untuk bantuan obat-obatan, untuk menyediakan penampungan-penampungan atau untuk perbaikan sarana dan prasaran yang rusak diterjang banjir.
Hari ini, kitapun diselimuti kesedihan. Kabar hilangnya kapal terbang Air Asia QZ8501 seakan ingin melengkapi kelabu akhir tahun ini. Pesawat AirAsia itu kehilangan kontak dan tidak menerima laporan dari Air Traffict Control (ATC) sejak jam 06.17 pagi tadi. Sampaisaat ini belum ada kabar pasti tentang nasib pesawat nahas yang membawa 155 penumpang itu. Keluarga penumpang masih menunggu berita tentang nasib pesawat ini. Khawatir, cemas, sedih membungkus para keluarga penumpang itu. Demikian juga dengan korban longsor dan banjir.
Di sisi lain, saya melihat di televisi-televisi persiapan pesta besar-besaran menyambut tahun baru dipersiapkan dan diiklankan tiap hari. Ada yang persiapan pesta kembang api, ada yang bersiap menyelenggarakan berbagai pesta meriah. Sepertinya perasaan kesedihan saudara-saudara kita itu tidak begitu penting.
Saya teringat di Iran, ketika warga Iran sedang bersiap menyambut tahun baru, tiba-tiba ada kabar duka, seorang ulama besar meninggal dunia. Setelah kabar itu diterima, segera saja seluruh televisi di Iran berubah corak. Dari kegembiraan menjadi balutan kesedihan. tak ada music kegembiraan ataupun pesta kembang api. Semua larut dalam kesedihan yang mendalam.
[caption id="" align="aligncenter" width="275" caption="(islampos.com)"][/caption] Sekarang, rasanya tak elok kita mengadakan pesta tahun baru sementara kita sedang mendapat duka mendalam.Sebaiknya semua stasiun televisi untuk menghentikan iklan-iklan pesta tahun baru. Para kepala daerah, jangan dulu adakan pesta kembang api yang menghabiskan uang tak sedikit. Himbauan ini juga bisa diberlakukan untuk hotel-hotel dan semua rakyat Indonesia. Mari kita bersama-sama merasakan penderitaan yang diderita oleh orang lain.
Saya ingin menutup tulisan ini teladanRasulullah tercinta. Datu saatRasulullah saw berkata, “Kirimkanlah makanan oleh kalian kepada keluarga Jafar, karena mereka sedang tertimpa masalah yang menyesakkan. Saat itu, keluarga Ja’far bin Abi Thalib mendapat sebuah musibah. Kata Rasulullah, “Barangsiapa yang mempermudahkan bagi orang susah, nescaya Allah akan mempermudahkan baginya di dunia dan di akhirat”. Kalau memang belum bisa membantu dengan harta, paling tidak jangan usik kesedihan mereka dengan kegembiraan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H