Mohon tunggu...
Fajr Muchtar
Fajr Muchtar Mohon Tunggu... Guru - Tukang Kebon

menulis itu artinya menyerap pengetahuan dan mengabarkannya https://www.youtube.com/c/LapakRumi

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Menebar Jejak dari Sate Kambing Hingga Guci

20 Januari 2015   07:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:46 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="461" caption="Dok Pribadi"][/caption]

Setiap perjalanan adalah sekolah, kata bapak saya. Kalimat itu sebetulnya adalah terjemah dari sabda Nabi saw yang menyebutkan bahwa, Assafaru madrasatun kabirah. Artinya ya itu yang saya tulis di awal. Pelajaran apa yangbisa dipetik dari perjalanan? Menurut saya adalah pelajaran kehidupan.

Dalam perjalanan yang diberi tag #JejakParaRiser saya mendapatkan banyak hal. Selain teman baru, ada banyak sudut pandang baru yang saya dapat untuk memandang satu hal. Bertemu dengan banyak orang dengan berbagai karakter dan sikap tentu saja menjadi pembelajaran yang baik. Selain saya, Riser One ini terdiri dari Widianto Diediet, Kang Arul dan Radja.

Karakter ketiga Riser ini tentu saja berbeda dan sekali lagi di situlah kita mendapatkan kesempatan belajar. Kalau itu tidak didapat setidaknya kita bisa menikmati makanan dan suasana baru.

Nah ini dia, KompasianaBlogTrip bersama Datsun Go+ ini memberikan kesempata itu. Bersama dengan tiga kompasianer lainnya, saya menjajal berbagai medan jalan dan makanan.

Setelah lepas dari jalan tol Palikanci, berbagai baligho sate kambing muda menggoda iman para Riser One. Rupanya pertahanan iman kami tak terlalu kuat untuk godaan daging kambing muda ini. Akhirya kami melabuhkan Datsun Go+ ke tempat H. Moei. Sebuah tempat sate yang berdiri sangat lama.

Tak terlalu lama menunggu, semangkuk gulai kambing dan tusukan-tusukan sate sudah tersedia di meja. Dipadu dengan bumbu kecap pedas, potongan bawan dan tomat segar, sate balibul (bayi lima bulan) yang masih mengeluarkan suara mendesis siap disantap.

Dagingnya memang empuk. Tak perlu susah dan berkeringan mengunyahnya. Cobalah oleskan ke bumbu kecap pedas bersama dengan bawang dan potongan tomat, Maknyuuuus. Menuliskannya lagi sudah membuat saya ingin mencoba lagi.

Setelah tusukan daging dilahap habis, minumlah segelas teh potji nasgitel. Srupuuuuut, aaah. Hilang sudah keletihan perjalanan menaklukan tol palikanci yang tak nyaman. Teh itu memang terkenal karena aroma dan rasanya yang segar.

Setelah sate balibul ini habis, perjalanan dilanjutkan ke Guci. Waktu sudah menunjukan jam 18-an. Cukup sore untuk ke Guci. Namun dari pengalaman tahun lalu, kawasan Guci, dibuka 24 jam maka kami memantapkan langkah untuk menuju Guci.

[caption id="" align="aligncenter" width="461" caption="Dok Pribadi"]

[/caption]

Jalan menuju Guci adalah jalan berkelok-kelok tajam dan menanjak. Kali ini Datsun Go+ digeber tenaganya agar bisa menundukan tanjakan dan belokan itu. Cukup tangguh untuk menaklukan tanjakan itu.

Hujan yang deras membuat jalan licin. Namun Datsun Go+ masih mampu memberikan manuver yang baik. Mungkin kalau bannya diganti ke ukuran lebih besar, daya cengkramnya akan lebih baik dan stabil.

Menurut mitos yang telah beredar selama ratusan tahun, air panas Guci adalah air yang diberikan Walisongo kepada orang yang mereka utus untuk menyiarkan agama Islam sekitar Tegal. Karena air itu ditempatkan di sebuah guci (poci), dan berkhasiat mendatangkan berkat, masyarakat menyebut lokasi pemberian air itu dengan nama Guci. Karena air dalam guci itu terbatas, maka wali itu menancapkan tongkatnya ke tanah dan mengalirlah air panas dari bekas tongkat itu. Makanya kemudian orang mempercayai khasiat dari air ini.

Saat kami sampai, tempat ini sangat sepi. Hanya ada satu orang yang berendam. Mungkin karena bukan waktu libur maka tak banyak yang mendatanginya. Ditambah lagi hujan cukup deras membasahi kawasan guci saat itu. Namun karena ingin menikmati hangatnya air pancuran Guci ini, kami menyemplungkan diri di pancuran.

Setelah cukup lama merasakan hangatnya pancuran di Guci, tim Riser One bersiap kembali ke Tegall. Cuaca dingin dan hujan berhasil memaksa kami untuk merasa lapar dan dingin. Rupanya perlu kehangatan agar kondisi tetap prima. Akhirnya sebelum sampai ke Hotel, kami menorehkan kembali jejak di sebuah warung soto.

Di situ, ada kabar bahwa semua tim sudah berada di hotel. Tersisa Riser One yang masih asik menikmati soto dan sruputan teh poci. Setelah beres, kami bergegas ke hotel. Ada tugas lain untuk memindahkan jejak di jalanan ke Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun