Mohon tunggu...
Goenawan
Goenawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Insinyur mesin dari ITS Surabaya, mendalami sistem kontrol otomatis di Taiwan, pernah bekerja di beberapa perusahaan ternama sbg Engineer dan di Managemen. Sekarang menekuni pasar Modal dan pasar Uang.\r\n\r\nSemua tulisan saya asli bukan hasil mencontek, tetapi anda boleh meng-copy paste sebagian atau seluruhnya tulisan saya di kompasiana tanpa perlu izin apapaun dari saya. Lebih baik jika dicantumkan sumbernya, tetapi tanpa ditulis sumbernyapun. it's ok

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Tenang, Waktu Anda 5 tahun

21 Februari 2015   02:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:48 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Pada Desember 2014, Presiden Jokowi mencanangkan pertumbuhan ekonomi 5.7% pada 2015. Dilihat dari besaran sebetulnya itu bukan angka yang woow karena di tahun 2013 ekonomi Indonesia juga tumbuh 5.7% bahkan di masa Jabatan I Presiden SBY, Indonesia pernah tumbuh diatas 7%. Saat itu boleh dibilang sektor ekonomi Indonesia diisi the dream team. Duet Budiono dan Sri Mulyani yang merupakan teknokrat ekonomi terbukti mampu membawa kemajuan ekonomi yang besar dari segi pertumbuhan, nilai tukar rupiah dan cadangan devisa.

Pertumbuhan itu agak mengendor di masa jabatan ke 2, boleh jadi karena menko ekonomi di kendalikan oleh Hatta Rajasa. Dari segi intelegensi, alumni teknik perminyakan ITB ini tidak perlu diragukan. Tetapi basik ilmu ekonominya tentu tidak sehebat profesor ekonomi UGM dan UI. Setidaknya bisa dilihat dari capaian ekonomi Indonesia 2009 s.d 20014 lebih rendah dari 2004 s.d 2009. Padahal seharusnya masa jabatan II bisa lebih baik, karena sudah berpengalaman.

Jangan Tergesa Gesa.

Saya merasakan Pak Jokowi saat ini terkesan buru - buru untuk mendapat pengakuan kapasitasnya sebagai presiden yang berhasil. Bagaimana mungkin baru 2 bulan menjabat sebagai presiden langsung bisa mentargetkan pertumbuhan 5.7% padahal di tahun 2014 kita hanya tumbuh 5.1%. Dengan anggota kabinet yang banyak diisi muka baru bisa jadi para menterinyapun belum terlalu paham departemen yang dipimpinnya.

Jika hanya mengandalkan utak atik data statistik kemudian mengubah secara frontal mekanisme yang ada tentu sangat beresiko. Dari data statistik memang kita bisa memetakan dan menganalisa kekuatan, kelemahan, kesempatan dan treatmen yang harus dilakukan. Tetapi bahwa jarang ada variable yang berdiri sendiri. Semua saling terkait sehingga 10 + 10 hasilnya bisa negatif.

Analogi ini bisa dilihat dari dampak pencabutan subsidi BBM dengan konsekwensi naiknya harga BBM ditengah trend turunya harga minyak dunia. Akibat kenaikkan itu sehari setelahnya memaksa BI untuk menaikkan suku bunga antar bank untuk menghindari Rupiah terpuruk.

Sekarang saat BBM diturunkan ke harga semula, harga kebutuhan masyarakat tidak bisa kembali ke harga semula. Bahkan minggu ini saat BI menurunkan BI rate dan suku bunga deposito, bunga pinjaman patokan BI tetap di 8%. Artinya spread bunga pinjaman dan deposito justru melebar. Bagi bank sekilas ini menguntungkan tetapi sebetulnya berpotensi menimbulkan kredit macet. Sedangkan bagi pelaku usaha tentu menambah beban.

Pengalihan subsidi BBM ke infrastruktur.

Infrastruktur membutuhkan biaya yang besar, tetapi dampaknya cukup lama, karena sifat proyek infrastruktur yang biasanya multi years. Selama uang itu digunakan untuk membangun infrastruktur saat itu masyarakat harus kencangkan ikat pinggang pengeluaran. Akibatnya tentu saja belanja domestik (masyarakat) tentu akan berkurang. Padahal kita tahu konsumsi domestik itu masih merupakan penggerak utama ekonomi nasional. Pajak yang memiliki porsi besar pendapatan APBN jelas akan terganggu.

Disisi lain eksport kita sebetulnya tidak seberapa. Surplus perdagangan RI bulan Januar 2015 hanya 700 juta US$ atau setara 8.7 Trilyun Rupiah, tidak sebanding dengan APBN yang sudah dikisaran 2000 Trilyun Rupiah. Eksportpun hanya didominasi bahan tambang dan CPO yang keduanya justru bahan primer tanpa diolah lebih lanjut dan sangat rentan fluktuasi mengikuti gejolak ekonomi dunia. Industri textile dan alas kaki (sepatu) yang sempat merajai di era 90 an sekarang hampir semuanya rontok. Argo Pantes, Texmaco, Hadtex sekarang pabriknya sepi nyaris tanpa aktivitas. Bahkan pabrik olefin Chandra Asri yang merupakan kebangaan Indonesia tahun 90an saat ini didera kerugian.

Dua bulan terakhir eksport import kita juga terus turun tajam. Ini sangat mengkawatirkan bukan saja eksport yang turun tetapi juga import. Import turun bukan karena kita sudah swasembada garam atau berhenti import buah atau berhenti mengkonsumsi daging sapi Australia. Tetapi justru karena turunnya import mesin - mesin produksi untuk pabrik - pabrik manufaktur. Ini tentu serius dampaknya karena berindikasi turunnya sektor manufaktur pada periode mendatang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun