Mohon tunggu...
Goenawan
Goenawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Insinyur mesin dari ITS Surabaya, mendalami sistem kontrol otomatis di Taiwan, pernah bekerja di beberapa perusahaan ternama sbg Engineer dan di Managemen. Sekarang menekuni pasar Modal dan pasar Uang.\r\n\r\nSemua tulisan saya asli bukan hasil mencontek, tetapi anda boleh meng-copy paste sebagian atau seluruhnya tulisan saya di kompasiana tanpa perlu izin apapaun dari saya. Lebih baik jika dicantumkan sumbernya, tetapi tanpa ditulis sumbernyapun. it's ok

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menghitung Peluang Jokowi

16 April 2014   11:38 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:37 3045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Detik-detik menjelang Joko Widodo menyatakan siap menjadi calon presiden di Rumah Pitung, Marunda, Jakarta Utara, Jumat (14/3/2014). (KOMPAS.com/Fabian Januarius Kuwado)

[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Detik-detik menjelang Joko Widodo menyatakan siap menjadi calon presiden di Rumah Pitung, Marunda, Jakarta Utara, Jumat (14/3/2014). (KOMPAS.com/Fabian Januarius Kuwado)"][/caption] Hasil Pemilu 1999: PDIP : 33.74%, Golkar: 22.4% Suara, PKB: 12.6%, PPP: 10.71%, PAN: 7,12%, PBB: 1.94%, PK (PKS): 1.35%. Hasil Pemilu 2004: Golkar: 23.27%, PDIP: 19.82%, PPP: 10.55%, Demokrat: 10%, PAN: 9.64%, PKB: 9.45%, PKS: 8.18%, PBR: 2.55%, PDS: 2.36%, PBB: 2% Hasil Pemilu 2009: Demokrat: 20.85%, Golkar: 14.45%, PDIP: 14.03%, PKS: 7.88%, PAN: 6.01%, PPP: 5.32%, PKB: 4.94%, Gerindra: 4.46%, Hanura: 3.37% Hasil Hitung Cepat Kompas Pileg 2014: PDIP: 19.24%, Golkar: 15.01%, Gerindra 11.77%, Demokrat: 9.43%, PKB: 9.12%, PAN: 7.51%, PKS 6.99%, Nasdem 6.71%, PPP: 6.68%, Hanura: 5.1%, PBB: 1.5% Jika merunut keberadaan partai politik di masa Orde baru, maka dapat dikelompokkan menjadi Partai berbasis Golkar (Golkar, Demokrat, Gerindra, Hanura, Nasdem), Berbasis PDI (PDIP, PDS), Berbasis PPP (PPP, PAN, PKB, PKS, PBB,). Maka Dapat dikelompokkan sebagai berikut: Pemilu 1999: PPP: 33.72%, Golkar: 22.4%, PDI: 33.74% Pemilu 2004: PPP: 31.82%, Golkar: 33.27%, PDI: 22.81% Pemilu 2009: PPP: 24.15%, Golkar: 43.13%, PDI: 14.03% Pemilu 2014: PPP: 31.8%, Golkar: 48.02%, PDI: 19.24% Catatan: Total suara tidak 100% karena suara partai kecil tidak dihitung. Dari data di atas disimpulkan bahwa masing-masing kelompok memiliki basis massa tradisonal: PPP: 24.15%, Golkar: 22.4%, PDI: 14.03%. Basis massa tradisional diambil dari perolehan angka terendah dari 4 kali Pemilu. Hal ini didasari jumlah pemilih minimal saat citra partai berada pada titik terbawah, pemilih tradisional ini akan cenderung pindah ke partai lain yang se-mashab. Terlihat bahwa massa tradisional PDI terendah (hanya 14.3%) dibanding kompetitornya. Angka tersebut juga terkonfirmasi jika merunut perolehan suara PDI di jaman Orde Baru yang selalu di peringkat 3. Bagaimana peluang Jokowi dalam pilpres 2014? Jika melihat basis masanya yang hanya 14.3% tentu sangat berat bagi PDIP untuk mendongkrak suara menjadi 51%. Artinya perlu tambahan 36.7% dari suara total pemilih, atau setara 256% kenaikan suara, sangat besar kenaikan yang perlu dibangun, bandingkan dengan kontestan lain dari PPP dan Golkar. Jika melihat eksklusivitas PDI dalam berpolitik (PDIP jaman Megawati), sulit bagi mashab ini untuk mendapat swing voter dari mashab lain. Basis massa PDI (PDIP) memang sangat kuat, partai ini sering menang di daerah-daerah perkotaan dengan jumlah kaum marginal yang besar. Di Surabaya, Semarang, Jakarta PDIP memang menang. Tetapi karena basis massanya yang sempit dan kaum pinggiran perkotaan, masa partai ini sering membuat bingung masyarakat umum. Masyarakat umum sulit memahami aksi cap jempol darah, pendirian posko-posko PDIP di perempatan jalan, kultus individu dan lain-lain. Walaupun secara internal mereka sangat wajar dan nyaman. Tidak ada Efek Jokowi. Di Jakarta Jokowi memang bisa menang, itu pun dalam dua putaran. Tetapi harap diingat faktor Ahok (Basuki Purnama) secara demografi menyumbang 25% dari total suara Jokowi. Faktor Ahok tidak akan lagi terasa di Pilpres 2014. Hal ini karena secara organisasi Ahok berada di Gerindra yang jelas berseberangan dengan Jokowi di pilpres. Di samping itu demografi Jakarta berbeda sangat berbeda dengan Indonesia. PDIP hanya dominan di Jawa Tengah Jika mendasarkan pada Pilgub, maka konstelasinya akan seperti ini: Jawa Timur: Demokrat, Jawa Tengah PDIP, Jawa Barat: PKS, Banten: Golkar. Jakarta akan cenderung merata dengan peluang sedikit di bawah 50%. Peluang Koalisi: Walaupun Koalisi Kabinet SBY dianggap tidak solid, tetapi koalisi antara Golkar, Demokrat, dan Partai berbasis Islam telah terjadi selama 10 tahun. Akan lebih mudah bagi mereka membentuk koalisi kembali, dibanding harus menyeberang ke PDIP. Prabowo : Dahlan Iskan Dari paparan di atas terlihat bahwa peluang Jokowi di pilpres 2014 sebetulnya lemah. Jokowi memang menang start dengan posisinya sebagai Gubernur DKI yang terus disorot media. Relawan Jokowi juga yang paling gencar menguasai jejaring sosial di internet. Tetapi Pulau Jawa bukan Jakarta, Indonesia juga bukan Jakarta. Jika Prabowo menggandeng Dahlan Iskan, hampir pasti Jawa Timur akan dimenangkan secara mutlak. Jawa Pos yang identik dengan Persebaya akan menguasai Surabaya. Sedangkan oplah Jawa Pos yang dominan di Jawa Timur jelas mempermudah menjual figur Dahlan Iskan. Selain itu jaringan media cetak dan TV Jawa Pos bukan saja ada di Jawa Timur. Media cetak dan televisi tentu lebih dalam penetrasinya dibanding jaringan internet yang dipakai relawan Jokowi dengan media sosialnya. Jawa Barat, jika melihat hasil pilgub yang dimenangkan PKS, suara Jawa Barat akan cenderung berpindah ke kompetitor Jokowi dibanding bergabung dengan PDIP. Demikian pula Banten. Luar Jawa: Sudah sejak lama, Golkar selalu unggul di luar Jawa, dengan kompetitor hanya Demokrat sebagai partainya SBY. Infrastruktur politik Golkar relatif tidak mengalami kerusakan sama sekali di luar Jawa dalam proses reformasi. Itu sebabnya perolehan kursi DPR RI Golkar selalu lebih unggul dibanding perolehan suara, karena memenangkan suara luar Jawa yang faktor pembaginya rendah. Prabowo : SBY Jika Prabowo menggandeng SBY sebagai cawapresnya. Hampir dipastikan pilpres satu putaran bisa mereka menangkan. Pada pilpres 2009 SBY memenangkan lebih dari 60%. Sangat mudah memutar ulang memori para pemilih di tahun 2009 untuk kembali memilih figur SBY. Apalagi jika mengingat figur SBY sebagai presiden, menjadi mudah memaparkan kenaikan tingkat kesejahteraan rakyat selama 10 tahun terakhir. Masyarakat umum akan cenderung memilih yang sudah terbukti dibanding harus memilih yang belum jelas dan tidak dikenal. Sikap kelembaman ini akan cenderung dominan. Kesimpulan.

  • Hasil Pileg 2014 sudah membuktikan menang di udara (Jejaring sosial Internet) lebih dari 80% ternyata tidak menjamin perolehan angka signifikan.
  • Jika dianggap ada Efek Jokowi, maka perolehan suara  19.24% dibanding basis masa yang 14.3%, maka efek jokowi hanya 1/3 (33%) dari suara basis PDIP. Sangat jauh dari kebutuhan yang harus mendongkrak sebanyak 256%.
  • Gaya-gaya propaganda yang sarkastik dan memfitnah, seperti penyebutan presiden RI sebagai Kebo Cikeas, negara gagal, autopilot, hanya populer di antara pendukung Jokowi dan menimbulkan ketidaknyamanan masyarakat umum. (nb: Siapa juga rela Presidennya disebut kebo)
  • Jika melihat angka-angka di atas, peluang Jokowi ternyata kecil untuk memenangkan Pilpres 2014. Jangan sampai nantinya jika kalah mereka reka cerita seolah dicurangi dsb.. Seperti pemilu 2009, seolah-olah paling benar dan merasa dicurangi walaupun secara matematika klaimnya diterima pun masih kalah juga.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun