Mohon tunggu...
Goenawan
Goenawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Insinyur mesin dari ITS Surabaya, mendalami sistem kontrol otomatis di Taiwan, pernah bekerja di beberapa perusahaan ternama sbg Engineer dan di Managemen. Sekarang menekuni pasar Modal dan pasar Uang.\r\n\r\nSemua tulisan saya asli bukan hasil mencontek, tetapi anda boleh meng-copy paste sebagian atau seluruhnya tulisan saya di kompasiana tanpa perlu izin apapaun dari saya. Lebih baik jika dicantumkan sumbernya, tetapi tanpa ditulis sumbernyapun. it's ok

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Optimis Itu Baik

3 Januari 2016   08:33 Diperbarui: 3 Januari 2016   09:14 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Gambar diedit dari headline kompas.com"][/caption]

Optimis adalah sikap yang wajib kita miliki, apapun profesi kita, apapun keadaan kita saat ini. Karena tanpa rasa optimis kita sebetulnya sudah mati. Bukan mati secara fisik tetapi mati secara pengharapan. Bukankah hidup harus diperjuangkan? Jika demikian kenapa kita tidak maju kedepan daripada menangisi keadaan saat ini? Orang bijak bilang "Bahwa semangat yang patah mengeringkan tulang."

Tetapi disisi lain, rasa optimis harus dibarengi perencanaan yang matang, dengan menghitung, menimbang dan memperhatikan keadaan sekitar, kemampuan, peluang dan aksi yang jelas dalam mengimplementasikan rasa optimisme, atau dalam bahasa manajemen disebut analisa SWOT beserta turunan turunannya. Tetapi kita tidak akan membahas teori manajemen yang terlalu textbook dan sulit dimengerti hanya dengan membuat satu tulisan. Mari kita berpikir dengan akal sehat sehat, apakah rasa optimisme itu cuma dongeng atau lebih jauh "menipu" publik.

Di awal 2015, tepatnya 22 Januari 2015 Kompas.com dalam headlinenya menyatakan optimisme Pak Jokowi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan naik walaupun negara lain menurunkan target pertumbuhannya. Janji yang sangat heroik, tapi tanpa dipikirkan masak - masak. Padahal saat itu jelas sekali China mulai melakukan relaksasi ekonominya. Terbukti selama 2015 China melepas cadangan devisanya dalam bentuk US dollar dan US note, setelah sebelumnya mendevaluasi Yuan. Kita tahu akhirnya semua target ekonomi di tahun 2015 meleset.

Di tahun 2016 ini sepertinya Pak Jokowi tidak kapok mengumbar target selangit tanpa melihat realita. Entah ini tim ekonomi yang terlalu bodoh membisiki Presiden atas kondisi ekonomi di 2016, atau Presiden yang memang tidak mau kehilangan muka atas kondisi saat ini sehingga menjanjikan target yang selangit.

Kondisi 2016 Justru Sangat Fragile

  1. Menurut Resume situs marketwatch terhadap prediksi 2016, uang akan mengalir kembali ke negara negara maju yang diawali kenaikan suku bunga USA di akhir 2015.
  2. Harga minyak akan terus menurun, Desember 2015 ini untuk pertama kalinya selama 40 tahun Amerika melakukan ekspor minyak mentah. Hal ini karena menyimpan cadangan minyak tidak lagi dianggap menguntungkan seiring makin melemahnya harga minyak. http://www.marketwatch.com/story/first-tanker-carrying-us-crude-exports-sets-off-from-texas-2015-12-31
  3. Defisit 2015 tentu akan mempengaruhi kondisi di 2016
  4. dll

Pertanyaannya: Sebetulnya Pak Presiden emang Optimis atau sekedar bohong ya soal 2016?

Kalau janji hanya sekedar diucapkan tanpa dipikirkan dulu dan ketika meleset tidak ada permintaan maaf, trus apa sebetulnya makna janji itu? Janji yang hanya pemanis justru menimbulkan persepsi dunia usaha bahwa pemerintah sebetulnya tidak capable. Omongan pemerintah tidak bisa dipakai sebagai acuan analisa, ini tentu bertolak belakang dari kulture ekonomi modern dimana komentar pejabat negara atau gubernur bank central sangat dominan mempengaruhi harga mata uang dan saham negara tersebut.

Budaya janji pemilu dengan bermacam angin surga harusnya sudah mulai dihentikan sejak dilantik jadi Presiden. Negara ini bukan panggung buat narsis atau sekedar disebut hebat oleh followernya. Bukan waktunya lagi main - main, selfi atau sekedar makan bareng followernya. Saatnya duduk di meja, menganalisa, bertanya kalau tidak tahu dan lebih humble dalam mendengar para ahlinya. Tidak perlu selalu merasa menjadi pioner atau paling hebat dengan jubah kepura - puraan. Toh negara ini negara nyata, bukan negara maya yang cuma populer di media sosial.

Gambar diedit dari headline kompas.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun