Globalisasi merupakan salah satu topik yang paling diperbincangkan dalam ilmu-ilmu sosial. Dalam debat besar mengenai globalisasi belakangan ini, semua pihak menerima bahwa dunia telah berubah secara fundamental. Saat ini kita menyaksikan lebih banyak perdagangan lintas batas komoditas fisik dan peningkatan yang lebih dramatis dalam perdagangan jasa dan informasi.
Namun, menurut Giddens (1990), globalisasi tidak hanya dapat dikonseptualisasi berdasarkan istilah ekonomi saja, tetapi globalisasi juga terkait dengan masalah sosial, budaya, dan politik.
Menurut Giddens, globalisasi tidak hanya tentang perubahan makro-sistemik di pasar global dan kedaulatan bangsa-negara, namun juga tentang perubahan mikro-sistemik mengenai transformasi yang mempengaruhi kehidupan dan emosional kita sehari-hari.
Giddens (1990) juga menyebutkan bahwa kekuatan pendorong di balik globalisasi adalah revolusi informasi. Hasil dari revolusi ini adalah serangkaian proses yang sangat kompleks yang seringkali mengambil bentuk yang kontradiktif, tetapi konsep globalisasi dapat disederhanakan dalam tiga gambaran berikut: pertama, globalisasi mengurangi peran bangsa-negara, mengurangi atau bahkan menghilangkan kendali pemerintah nasional terhadap berbagai macam bidang seperti kebijakan ekonomi dan perdagangan. Tetapi, kedua, globalisasi juga mendorong bangsa-negara, mendorong untuk mengalokasikan sumber daya baru untuk ekonomi lokal, memfasilitasi munculnya identitas budaya lokal, dan memperkuat unit pemerintahan sub-nasional. Ketiga, globalisasi merenggang ke samping, menciptakan wilayah budaya, ekonomi, dan politik baru yang melintasi batas-batas negara.
Globalisasi, demokrasi, dan civil society
Lalu, bagaimana hubungan antara globalisasi dengan demokrasi dan civil society?
Civil society dianggap sebagai tempat partisipasi di mana warga negara membuat klaim dan berpartisipasi dalam debat bersama tentang peraturan yang telah ditetapkan dan tentang relasi kuasa. Menurut Ehrenberg (1999) civil society adalah sebuah masyarakat yang otonom bertindak, dan dapat mengontrol kekuasaan negara dengan sikap kritis, berbasiskan semangat egalitarian, keterbukaan, penghargaan pluralitas, emansipatif, aspiratif, dan partisipatif. Sedangkan Barber (1997) menyebut civil society sebagai tempat yang mampu mempromosikan tindakan warga negara yang bertanggung jawab, berkomitmen, mengendalikan pasar, membudayakan masyarakat, dan mendemokratisasi pemerintah.
Adanya revolusi di bidang teknologi informasi dan komunikasi serta berkembangnya globalisasi telah memaksa ruang publik untuk memperoleh sifat yang lebih kompleks dan lintas batas. Studi tentang gerakan pro-demokrasi memungkinkan kita untuk melihat bagaimana civil society merevitalisasi peran ruang publik di banyak arah, dan bagaimana hal itu tidak tertutup dan hanya dibingkai dalam konteks bangsa-negara.
Hal ini dapat memperluas konteksnya menjadi global civil society. Pada dasarnya global civil society menggambarkan lingkup kegiatan diskursif yang sama dengan domestic civil society. Pergeserannya lebih merupakan masalah ruang lingkup daripada substansi. Keane (2003) mendefinisikan global civil society sebagai sistem non-pemerintah yang dinamis dari institusi sosial-ekonomi yang saling berhubungan yang “melangkahi” seluruh dunia, yang atribut transnasionalnya memungkinkan mereka untuk berpotensi memajemukan kekuasaan dan mempermasalahkan kekerasan di mana saja di dunia ini. Secara umum, global civil society dipahami sebagai arena politik, interaksi, dan debat transnasional (Del Felice, 2011) yang tampaknya menjadi bagian dari gerakan pro-demokrasi.
Hubungan antara global civil society dan demokrasi bersifat timbal balik. Untuk mengembangkan civil society membutuhkan setidaknya kebebasan berserikat yang disediakan oleh pemerintahan yang demokratis. Sebagai imbalannya, demokrasi menjadi lebih kokoh melalui partisipasi aktif warga negara yang difasilitasi oleh civil society.