Mohon tunggu...
Futsal Cara Barca
Futsal Cara Barca Mohon Tunggu... -

Untuk artikel terupdate kunjungi di blog http://www.futsalcarabarca.blogspot.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Tips Futsal: Don't Judge A Player By His Shoes!

7 Januari 2013   07:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:25 768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nike CR Mercurial Familiar dengan nama-nama ini? Adidas F-50, Predator, Beckenbauer, Nike Mercurial, Tiempo, Kelme, dan Joma. Tres puntos buat Anda yang menjawab: sepatu bola! Bahkan ada versi futsalnya! Berita terhangat adalah Miadidas putih merah yang dikenakan Messi saat jumpa Atletico Madrid, lalu sepatu CR Mercurial yang baru saja dipakai oleh Cristiano Ronaldo, yang dalam debut sepatu tersebut telah mencetak dua gol ke gawang Real Sociedad (Senin dini hari, 7/1/13, WIB). Sepatu baru langsung membawa pengaruh, benarkah seperti itu? Bagi para penggemar futsal, sepatu tak ubahnya senjata perang. Identitas permainan sampai terkadang gengsi tersendiri sebagai seorang pemain. Bagi yang memfavoritkan Leo Messi, tentu loyal dengan Adidas F-50. Buat yang terinspirasi pemain legendaris tentu loyal dengan Adidas Beckenbauer. Buat penggemar Iniesta, tentu ingat sepatu legendaris Nike T90 Laser warna kuning yang menjebol gawang Chelsea di semifinal LC 2008. Mengenakan sepatu yang sama seperti pemain favorit seolah menimbulkan sensasi tersendiri. Makanya seringkali persoalan sepatu bukan persoalan remeh bagi kebanyakan pemain futsal. Penghobi atau sekelas atlet sekalipun. Seperti seorang gladiator memilih senjata, mengenakan sepatu yang tepat menimbulkan aura tersendiri. Ini dia, aura sebuah sepatu, mitos lain pemain futsal di samping mencium rumput dan ‘sebuah tropi akan menyelesaikan semua masalah’. Mungkin akan kita bahas lain kali, tapi persoalan sepatu punya cerita tersendiri. Saya termasuk yang fashionable saat bermain futsal. Ya, memang ada masa-masa buruk saat kostum saya warnanya tak karuan. Atau kaos kaki yang aus karetnya karena kehabisan stok akibat keseringan bermain. Tapi secara umum saya cukup memperhatikan penampilan saat bermain. Bukan untuk nampang. Tapi semacam mengasah mental. Ibaratnya, bagai seorang petarung: armor, weapon, dan shield amat penting untuk meningkatkan moral bertempur. Terlebih permainan ini berpusat di kaki, maka sepatu sudah saya anggap sebagai booster yang amat penting. Sebagian di antaranya telah cukup veteran dipenuhi ‘luka-lua tempur’. Sobek di samping, hancur di solnya, dijahit ulang sampai ganti sol karet, semua pernah menimpa sepatu saya. Dari sepatu kets, sepatu bulutangkis, replika bajakan Adidas Predator, dan yang terakhir replika Adidas F-50, menempati deretan rak sepatu saya. Dari semua sepatu, replika Adidas F-50 adalah yang termahal dari semua yang pernah saya miliki (untuk ukuran saya). Makanya baru saya miliki saat sudah bekerja. Tapi tahukah Anda? Lucunya adalah di saat seperti ini bukan sepatu itu yang paling bernilai buat saya. Penilaian saya telah banyak berubah. Dulu saat kuliah, menyaksikan kawan-kawan yang sering sekali berganti sepatu seolah menimbulkan gejolak tersendiri. Ada Kelme yang khas sekali untuk futsal. Lalu ada Adidas Tiempo yang benar-benar mirip Ronaldinho (ada versi R10 juga). Kemudian Adidas Beckenbauer dan Nike Mercurial. Sekali dua kali masih biasa saja, tapi yang terakhir ini membuat putus asa tiap kali melihat ke arah replika Adidas Predator butut di kaki saya ini. Apalagi saat itu tengah memasuki tahun ketiga saya di klub futsal kampus, sementara prestasi saya belum seberapa. Jadilah perasaan gondok ini terbawa setiap kali latihan. Saya ingin punya sepatu seperti itu. Biasanya dalam cerita seperti ini, tiba-tiba kita bertemu kawan yang tidak beruntung memiliki sepatu yang lebih butut, dan itu menyadarkan saya. Yah, memang ada satu kawan saya, tapi TIDAK. Itu tidak merubah saya, saya masih menginginkannya. Bahkan saat saya tengah mengikuti sebuah turnamen, dan menyaksikan di tim lain ada seorang pemain dengan kelainan pada kakinya. Survivor polio, hal yang semestinya membuat saya lebih bersyukur, namun tak bertahan lama karena saya masih menginginkan sepatu itu. Perubahan baru terjadi di saat saya memiliki sepatu terakhir. Adidas F-50. Itu pun replika, yang sekitar Rp 150.000 tapi terasa amat mahal bagi saya. Berwarna biru, dengan model yang sama persis seperti yang diangkat Messi seperti telpon saat final Liga Champions 2008. Hanya saja berwarna perpaduan biru donker dan kuning flouresens inilah yang saya idamkan. Saya pun mengenakannya berkali-kali untuk bermain futsal bersama rekan-rekan kantor. Juga pertandingan reuni dengan rekan-rekan futsal saya di kampus dulu. Tapi ada yang berbeda. Perasaan menggebu-gebu ingin sepatu baru tak seperti dulu lagi. Saya tak lagi memikirkan soal, yah sepatu. Saya bahkan tak mengganggap istimewa lagi sepatu idaman yang kini saya kenakan. Dan anehnya lagi, saya tak lagi mempedulikan apakah sepatu kawan saya lebih bagus atau tidak. Lebih mirip sepatu pebola model terbaru musim ini atau tidak. Semua seolah tak lagi penting. Sepertinya waktu telah merubah saya. Padahal saya masih orang yang sama, masih penggemar Barcelona, masih suka futsal, dan amat kompetitif di tiap pertandingannya. Apa yang berbeda? Yang berbeda adalah sikap saya. Saya kini sadar meski dengan sepatu kebesaran, ada sesuatu yang hilang. Kenangan dan pengalaman berjuang untuk lolos seleksi. Latihan keras untuk satu tujuan: bermain di turnamen. Berlatih saat hujan, ataupun saat panas. Bermain di lapangan licin, atau di lapangan aspal yang keras. Semua itu sangat bernilai dan tak tergantikan. Berbeda dengan permainan bersama rekan kantor yang sekedar rekreasi. Tak ada perjuangan. Hanya bersenang-senang. Saya tak lagi mengutamakan armor, weapon, atau shield. Apapun sepatu yang dikenakan kawan, saya tak lagi ambil pusing. Tak ada lagi beda di sepatu butut Predator atau F-50 yang saya kenakan. Ini bukan lagi soal sepatu, itu cuma mitos. Yang penting daripada sekedar sepatu adalah skill-nya, dan pengalaman berjuang bersama-sama sebagai tim. Dua anugerah Tuhan yang paling besar dari pengalaman saya bermain futsal. *** Dari Sam Tenbringer, penulis buku "HOW I LEARN TO PLAY CLASSY LIKE MESSI - Catatan Rahasia Tips, Trik, dan Teknik Dasar Futsal"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun