Terbentuknya BPJS Kesehatan dan implementasi Jaminan Kesehatan Nasional sesuai UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN meskipun terlambat, harus kita jaga bersama masa depannya. Semua pihak harus bersedia membuka diri, apa yang salah dan apa yang perlu diperbaiki, agar JKN/BPJS Kesehatan dapat berjalan sesuai UU SJSN dan UU BPJS. JKN menggabungkan tiga program yang telah berjalan sebelumnya, diantaranya adalah program bagi peserta Askes (PNS dan penerima pensiun PNS, anggota TNI/Polri); jaminan kesehatan (JK) Jamsostek bagi pekerja swasta; dan program jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh pemda (Jamkesmas).
Ketiganya menerapkan sistem pelayanan, cakupan pelayanan kesehatan, dan pembayaran yang berbeda. Apabila ketiganya diharuskan serentak menerapkan sistem yang sama 1 Januari 2014, sebagaimana konsep JKN, setidaknya perlu waktu untuk menyesuaikan diri. Padahal, baik Askes, JK Jamsostek, maupun Jamkesmas telah melibatkan ribuan dokter/puskesmas/rumah sakit, baik swasta maupun milik pemerintah, sehingga perlu waktu untuk memahami ketentuan baru yang berlaku. Apalagi, tugas BPJS Kesehatan masih harus mencakup peserta Penerima Bantuan Iuran dan peserta perorangan. Semuanya harus memiliki pemahaman yang sama agar tidak terjadi kesulitan.
Pada tingkat awal sudah tentu akan sangat membantu kalau semua pihak, baik BPJS Kesehatan, Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK), maupun dokter,rumah sakit,puskesmas memahami prosedur pelayanan yang harus diselenggarakan. Apabila calon peserta saja masih bingung bagaimana mendaftarkan diri sebagai peserta BPJS, maka sudah pasti akan menjadi kendala besar. Demikian juga kalau sistem pembiayaan dan prosedur administrasinya (INA CBG) masih belum dipahamai, apalagi belum dapat diterima oleh para PPK, sudah tentu akan menjadi kendala. Hampir semua orang setuju bahwa perubahan itu harus ke arah perbaikan. JKN akan ditinggalkan kalau gagal menjadi lebih baik dari Askes.
Pelayanan kesehatan yang diperoleh bersifat menyeluruh, mulai dari sakit demam, batuk, pilek, panu yang tak perlu biaya tinggi, sampai pelayanan kesehatan yang perlu biaya tinggi seperti operasi jantung, kanker, cuci darah. Pemberian obat bagi penyakit yang perlu pengobatan lama bisa diberikan satu bulan dan tidak hanya 3-5 hari sehingga pasien harus bolak-balik ke dokter minta surat rujukan. Demikian juga kalau ada cost sharing tak boleh memberatkan pasien secara ekonomi. Cost sharing harus terbatas untuk mengurangi penyalahgunaan (abuse of care). Untuk penyakit berat, meski perlu biaya besar, namun sepanjang kebutuhan medik tak diperlukan iur biaya. Kondisi seperti ini mengesankan belum terpenuhi semuanya sehingga merugikan peserta/pasien. BPJS Kesehatan justru dikesankan memberatkan pasien.
Selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah kepesertaan bagi pendaftar perorangan. Iuran yang diterapkan secara nominal bagi semua orang bisa membuka peluang sehingga akan meningkatkan aji mumpung yang besar. Dalam jumlah yang besar sudah tentu bisa jadi ancaman bagi pembiayaan JKN. Titik lemah terjadinya korupsi hanya dapat dicegah kalau secara operasional JKN mampu menumbuhkan sistem pelayanan dan pembiayaan yang efisien sehingga mampu mencegah terjadinya penyalahgunaan (abuse of care), pemakaian pelayanan yang berlebihan (over utilization), dan bahkan pelayanan yang tidak perlu (unnecessary utilization). Dengan memperhatikan perjalanan JKN/BPJS Kesehatan dalam tiga bulan ini, perlu semacam skenario agar dapat berjalan mulus. Sebab, kalau terjadi ketidakseimbangan bisa mengancam keberadaan JKN/BPJS Kesehatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H