Mohon tunggu...
Furi Diah
Furi Diah Mohon Tunggu... -

Menulis di kompasiana untuk move on dari fan page haters yang aku follow -_-

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Post Power Syndrome A la Mantan Anak Kuliahan

12 Januari 2015   05:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:20 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Post Power Syndrome, merupakan istilah dalam ilmu psikologi yang merupakan gejala yang dialami bukan hanya seseorang yang pernah mengalami masa kesuksesan di dalam perjalanan hidupnya,seperti yang banyak disangka orang."

-Tjiptanada Effendi

Post Power Syndrome adalah suatu sindrom yang membuat seseorang masih berada di bawah bayang-bayang masa lalunya yang sukses, atau bisa juga bisa kita sebut "Gagal Move On".   Bisa terjadi kepada siapapun yang pernah menjadi mantan, hehe. Mantan Presiden, mantan menteri, mantan orang kaya, mantan orang tenar, etc.

Bicara Post Power Syndrome, nampaknya juga terjadi kepada saya, mantan seleb jurusan hahaha. Dulu, beberapa kali jika saya terlibat "banter" dengan rekan kerja, saya pasti mengungkit masa lalu di zaman kuliah . Kalimat yang sering saya gunakan adalah : " jaman kuliah mana ada yang berani nge-bully aku, aku tuh dulu .." atau " Kalau temen-temen kuliahku  tau aku di-bully... mereka pasti bakal speechless". (Nyebelin emang yah, congkak kali)

Jadi beginilah awal mulanya. SD-SMP saya adalah anak kecil yang biasa saja.  Tidak pintar dan juga tidak bodoh. Tidak cantik dan tidak kaya (*loh?). Pokoknya ngider aja, asal idup. Baru pas SMA dan Kuliah, bisa dibilang itu adalah masa-masa kejayaan saya. Menang lomba ini itu, lulus dengan nilai yang amat baik.  Dapat LoA buat ngelanjutin kuliah di luar negeri (walau akhirnya memilih kerja), keterima kerja di beberapa perusahaan bonafide sekaligus. Memang susah tidak menjadi sombong dan takabur saat itu yah

Kesombongan saya luntur ketika saya memilih bekerja.  Saya pernah dengan sombongnya menulis artikel di kompasiana yang inti isinya adalah " nggak ada yang salah dengan IPK bagus, jadi jangan bully orang dengan IPK bagus dan bilang mereka belum tentu sukses". Saat itu saya masih PD dan yakin bahwa saya bisa mematahkan kata-kata orang yang selama ini mendiskreditkan IPK bagus.

Ketika pertama kali diterima di tempat kerja saya sekarang, saya harus  masuk learning center selama 3 minggu bersama teman-teman dari  perguruan tinggi lainnya yang juga diterima (Top 5 di Indonesia). Bayangan saya bekerja itu mudah, apalagi ada acara belajar dulu di learning center, karena saya paling bangga sama kecepatan mencerna hal baru dan logika yang saya miliki. Namun ternyata saya salah besar saudara-saudara!! Di 3 minggu itu siksaan batin saya dimulai. Dalam hati dan pikiran saya meyakini seyaqin-yaqinnya bahwa saya cerdas, namun ternyata oh ternyata, otak saya tidak kritis, saya tidak bisa bergaul dengan lingkungan baru, saya tidak memiliki keberanian bahkan hanya untuk sekedar mengacungkan tangan di untuk bertanya, bahkan saya tidak bisa bicara ceplas-ceplos karena saya nggak mau dibilang medhok. Jika itu kontes dan penilaiannya adalah 4 B : Brain-Beauty-Behaviour dan Bravery, berarti dipastikan saya nyaris urutan buncit. Menyedihkan. Jago kandang yang KO tandang. Sampai 6 bulan bekerja saya sering sekali mengeluh kepada sahabat saya.  Setiap kali mendekati evaluasi bulanan pasti mengeluh, marah, menangis dan merengek . Belum lagi mengeluh di-bully orang kantor gara-gara medhok dan ndeso. Sampai di suatu momen sahabat saya itu nyeletuk " Plis deh rik, kamu tuh kena post power syndrome"

Sampai akhirnya saya benar-benar melakukan apa yang selama ini saya gemborkan di media sosial (terinspirasi Joko Anwar)  :" Life is so much easier when you accept the fate that you're not beautiful and start focus on other things that more useful" . Saya menerima kenyataan bahwa saya tidak se-superior yang saya imajinasikan.  I'm not as smart as I think I am. Di atas langit masih ada langit, kalau kata pepatah lama ya.

6 bulan berikutnya, saya pindah di unit baru yang sangat menyenangkan. Walaupun awalnya saya sangat pemalu dan pendiam (bawaan di-bully di kantor lama), tapi alhamdulillah di sini dipertemukan dengan orang kantor yang menasehati seperti ini " Jika bertemu orang, jangan dilihat itu orang lama, itu manajer, senior manager atau deputy. Mau bicara sama siapa saja boleh, nggak perlu minder. Tapi jangan lupa harus selalu sopan ke semua orang tanpa melihat embel-embel orang itu". Simpel dan sering sekali diucapkan banyak orang kan? Tapi ketika kita sedang down dan ternyata diberi wejangan seperti itu, wiih rasanya kayak mendapatkan ilham!

Keputusan memilih bekerja dibanding melanjutkan kuliah, teryata menjadi salah satu keputusan terbaik yang pernah saya ambil. Bukan berarti melanjutkan kuliah itu mudah loh ya (ada salah satu teman saya juga jumpalitan banget perjuangannya), tapi saat itu jika saya melanjutkan kuliah, wiih bisa dipastikan betapa sombongnya saya sekarang, karena ya itu tadi, pikiran saya belum terbuka. Sekarang jadi sadar bahwa bukan cuma cerdas dan IPK bagus loh yang dibutuhkan, tapi juga harus kreatif, kritis, cerdik, pandai bergaul dan yang terpenting hindari sombong berlebihan.   Saya sendiri menemukan artikel tentang menghadapi post power syndrome di kompasiana  yang ditulis oleh Bapak Tjiptanada Effendi di sini.  Ayo move on dari post power syndrome!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun