Oleh: Fulgensius A. Dhosa
"Dunia kini sedang dilanda Krisis. Kaum Muda yang merupakan penduduk mayoritas Bangsa senantiasa dikepung oleh berbagai persoalan. Mulai dari persoalan seputar "esensi dan eksistensi" kaum muda, hingga persoalan - persoalan berskala global yang datang menyerang tanpa kompromi. Maka pemuda-pemuda yang telah berusia dua puluh atau dua puluh satu tahun, tapi tidak memiliki pandangan-pandangan hidup yang jelas tentang bangsa, maka pemuda-pemuda seperti ini lebih baik digunduli saja kepalanya. Percayalah bahwa Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki Pemuda"-Soekarno.
"Mungkin atas dasar pijakan Idealisme yang kuat inilah maka berbagai organisasi serta wadah kepemudaaan di Indonesia didirkan oleh pemuda-pemuda progresif kala itu. Salah satu diantaranya adalah Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Hari ini tepat 67 Tahun GMNI lahir dari proses peleburan dan fusi tiga organisasi kepemudaan, yakni Gerakan Mahasiswa Demokrat, Gerakan Mahasiswa Merdeka, dan Gerakan Mahasiswa Marhaenis. GMNI resmi berdiri setelah mengadakan  Kongres pertama di Surabaya tepatnya di Balai Pemuda pada tanggal 23 Maret 1954. Dengan tokoh pelopor pembentukaan kala itu S.M Hadiprabowo, Slamet Djajawidjadja, Subagio Marsukin, Sri Sumantri bersama Kawan-kawan pergerakan lainnya. Dibawah restu langsung Presiden Pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno, GMNI akhirnya lahir dan eksis berdiri hingga saat ini.
Dalam perkembangan dan dinamika pergerakannya GMNI berafiliasi menjadi organisasi sayap kepemudaan dari Partai Nasional Indonesia (PNI), cikal bakal Partai Demokrasi Indonesia (PDI) nantinya. PNI sebagai partai yang didirikan oleh Soekarno memang diakui kala itu mempunyai kontribusi yang besar bagi perkembangan bangsa Indonesia sejak awal-awal masa kemerdekaan. Hubungan PNI dan GMNI berakhir sejak Tahun 1973, karena keputusan pemerintah Orde Baru kala itu dibawah kekuasaan Sohearto untuk melakukan fusi Partai dan menjadikan GMNI keluar sebagai organisasi mahasiswa yang Independen. PNI akhirnya dalam perjalananyaa melakukan fusi dengan Partai lain membentuk Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sedangkang GMNI melanjutkan perjalanannya menjadi "Organisasi Mahasiswa Yang Mandiri Serta Mempunyai Fungsi Kontrol, Yang Tidak Boleh Bahkan Dilarang Keras Untuk Berafiliasi dengan Organisasi Partai Manapun", sebagaimana yang tertuang dalam AD/ART Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia.
**Penyambung Lidah Rakyat Indonesia
Sesuatu yang sangat tidak terpisahkan ketika berbicara terkait Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia dengan Ideologi kebanggannya "Marhaenisme". Bisa dikatakan Marhaenisme adalah "Nyawa, Nafas dan Sendi" pergerakan bagi anak-anak Ideologisnya di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia. Semua kerja-kerja ideologis yang dihasilkan Anggota dan Kader GMNI selalu bertolak dan berpijak dari Marhaenisme. Marhaenisme sebagai Ideologi (Pandangan Hidup) yang dilahirkan Sang Proklamator Bung Karno jauh sebelum kemerdekaan. Bahkan jauh sebelum Soekarno merampungkan konsepnya tentang Nasionalisme ataupun Pancasila sebagai Dasar Negara. Maka tidak elok menjadi penerus Ideologi ini tanpa membedah atau menelisik sedikit lebih jauh latar belakang dari Bung Karno dan Ideologi kebanggannya yang fenomenal dan akhirnya turut melahirkan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia.
Soekarno dalam pandangan saya masih sebagai pribadi yang harus diakui, "Suka atau tidak suka" adalah Revolusioner. Sang Proklamator punya segala Kapabilitas (Kemampuan) sebagai pemimpin terlepas dari berbagai kontroversial dalam perjuangan dan pergerakannya, sebelum ataupun sesudah Revolusi Indonesia. Bung Karno jelas bukan pemimpin karbitan, atau menjadi pemimpin  karena keturunan serta mengandalkan orang dalam seperti yang biasa kita temui dalam situasi politik saat ini. Ayah dan ibunya sama sekali bukan berlatar belakang teoritik maupun politisi. Mengakui kapabilitas Soekarno bukan berarti "Soekarnois". Jelas tidak!. Bahkan dalam beberapa pandangan sangat perlu berseberangan bahkan sedikit menggugat Sang Proklamator dalam keterbatasannya tentu saja. "Seperti dalam kehidupan personal misalnya jika anda paham maksud saya". Kembali ke alasan utama Bung Karno masih tetap dan akan selalu menjadi seorang sosok yang Revolusioner adalah tidak lain dan tidak bukan karena keberhasilan dalam pembacaannya terkait situasi Indonesia jauh sebelum Kemerdekaan. Kemampuan tertinggi dari seorang Pemimpin, bahkan dalam kapasitasnya saat itu yang masih belum menjadi Presiden Pertama Republik Indonesia. Kemampuan ini terilhami karena fondasi utama pergerakan Bung Karno yang kuat, yakni "Penguasaanya yang mendalam terkait berbagai Teori Sosial, Ekonomi dan Politik Dunia maupun Indonesia". Penguasaanya atas teori-teori yang ada turut menjadikannya sosok pemimpin kuat, tangguh, kharismatik, berapi-api bahkan menjadikan Sang Proklamator menjadi sosok yang seakan susah dikalahkan di masa-masa kolonialisme. Beberapa kali dipaksa bungkam serta terbelenggu dalam keadaan yang sangat sulit dan terpuruk, namun semangat Sang Proklamator tetap menyala-nyala. Tercatat sekitar kurang lebih tiga kali Soekarno dimasukan dan dijebloskan kedalam Penjara. Belum lagi ditambahkan pembuangan yang dialaminya sana sini dengan jangka waktu yang tidak singkat.Â
Dalam buku "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia" karya Cindy Adams dikisahkan bahwa pembuangan ke Ende-Flores-NTT oleh Belanda adalah ujian terberat bagi Soekarno. Diasingkan dari rekan-rekan perjuangan dengan situasi kondisi alam Flores yang terisolir dan masih tertinggal saat itu bahkan sampai sekarang. Saya berani bertaruh seorang manusia sekaliber aktivis pergerakan sekalipun, jika tidak membekali dirinya dengan teori pemikiran dan pengetahuan serta niat yang kuat, tidak akan bertahan dalam situasi yang sama seperti yang dialami Sang Proklamator. Jadi singkatnya dalam perjuangan Soekarno "Dasar dan Fondasinya Kokoh", "Tujuan dan Arah Perjuangannya" Jelas. "Mencapai Revolusi Penuh Bagi Indonesia". Lalu pertanyaannya teori-teori apa yang menjadi "Dasar" bagi sang proklamator dalam pergerakannya menghadiahkan Indonesia sebuah satu kesatuan Indonesia dalam bingkai indah Revolusi serta mampu melahirkan berbagai Ideologi maupun Pandangan-pandangan hidup yang memperbaharui peradaban Bangsa. Dalam buku "Dibawah Bendera Revolusi Bab Pertama" dapat kita temukan terpampang dengan sangat jelas."Marxisme" adalah salah satu teori dasar yang menjadi kunci keberhasilan Soekarno, disamping Nasionalisme dan eksistensinya sebagai seorang kaum Muslimin. "Bung Karno jelas adalah manusia pergerakan bersenjatakan Marxisme (Materialisme Dialektika Historis)", Jauh sebelum ia menemukan Marhaenisme. Bahkan dengan sangat gamblang Bung Karno menggambarkan Marhaenisme sebagai Marxisme ala Indonesia, diterapkan dalam kultur dan kebudayaan sesusai kondisi real Indonesia saat itu. Soekarno mampu menyatukan antara tiga golongan besar aliran yakni Marxisme, Nasionalisme dan Islamisme dalam proses penggabungan kekuatan-kekuatan Revolusi. Dalam sebuah artikel Soekarno didaulatkan sebagai seorang "Mujaddid (pembaharu) Islam terbesar abad Ke-20" bahkan layak disandingkan bersama para pendahulu-pendahulunya Imam Asy-Syafi'I dan Imam Ghazali, cendekiawan  Muslim terdahulu. Maka ini akhirnya semoga mengantarkan kita dalam sebuah satu kesatuan pembahasan yang utuh ketika berbicara terkait Marhaenisme dan Marxisme. Sesuatu yang sejatinya tidak bisa dan tak boleh dipisahkan sebagaimana yang senantiasa ditekankan Soekarno. "Marhaenisme Tanpa Marxisme Akan Kehilangan Apinya".
**Terminus ad queem (titik pijak) Marhaenisme
Marhaenisme lahir atas dasar kemanusiaan Bung Karno melihat situasi Bangsa Indonesia sebelum kemerdekaan. Bangsa Indonesia yang mayoritas saat itu didominasi kaum Petani digambarkan mempunyai semua alat-alat produksi (Kebun, Sawah, Cangkul, Pupuk) tetapi tetap tertindas oleh monopoli dalam perputaran sirkuit Kapital oleh para Pemilik Modal. Sedangkan Marxisme berangkat dari pemikiran Karl Marx filsuf dan pemikir kiri kelahiran Trier, Jerman tentang Alienasi (keterasingan)Â Kaum Proletar (Buruh) atas alat-alat produksi. Kaum Proletar (Buruh) dalam pandangan Marx mengabdikan seluruh tenaga dan karya kerja-kerja mereka, tapi tetap tertindas oleh kelas Aproisasi Kapital (Pemodal dan Pemilik modal). Para pemilik modal dalam kerja-kerja yang dilakukan kaum Buruh mengambil Surplus Value (Nilai Lebih)Â dari kerja-kerja produksi yang dihasilkan.Â
Teori Jam Kerja Marx dalam pandangan Ekonomi Marxis dapat menjadi sedikit acuan kesadaran berpikir terkait penindasan bagi Kaum Buruh. Sebagai ilustrasi sederhana ketika seorang Buruh Pabrik Sepatu misalnya menghasilkan karya kerjannya memproduksi sepatu, maka perhitungan jam kerja perlu diperhatikan dengan cermat dan teliti. Menurut Teori sederhana Marx seandainya saja dalam sehari seorang buruh berhasil mengerjakan dan menghasilkan 8 buah sepatu dengan penghasilan persepatu 700.000 x 8 buah sepatu= 5.600.000 juta/hari. Maka dalam sehari buruh telah menghasilkan pemasukan bagi perusahaan sebesar 5.600.000 juta. Jika dikalikan 30 hari kerja maka penghasilan total perusahaan adalah 168.000.000 juta/bulan.Â