Saya agak kesulitan hendak membicarakan tema ini, sebab saya hanyalah masyarakat pada umumnya yang tidak pakar dalam  hal ini. Tapi, semoga para pembaca yang budiman  dapat memahami maksud Saya. Melihat pembahasan ini dari perspektif masyarakat biasa.
Ketika Saya berada di bangku SD kelas enam, salah satu pelajarannya menjadikan Saya tahu bahwa di Indonesia terdapat dua musim. Penghujan dan kemarau, dan juga pengetahuan itu dilengkapi dengan bulan-bulan yang biasanya ditentukan kapan musim itu akan berganti. Hingga Saya beranjak SMA pengetahuan itu masih dapat diyakini, karena jarang meleset. Pun jika meleset hanya akan berada dalam hitungan hari. Dan baru Saya sadari saat ini, jika kedua musim itu tidak berjalan pada semestinya. Mampu membuat batin resah menjalani hari-hari Saya.
Selain musim kemarau tahun ini, Saya masih ingat di tahun 2015. Kala itu Saya masih menjadi seorang mahasiswi, sedang menempuh perjalanan pulang kampung. Dengan menggunakan mode transportasi kereta api, dari Stasiun Pasar Senin hingga Stasiun Banyuwangi dan menyebrangi Selat Bali untuk bisa menengok keluarga. Perjalanan yang membuat hati Saya takut untuk mengalaminya kembali. Sepanjang perjalanan, kereta api tidak hanya melewati area pemukiman warga, jalur kreta api melewati luasnya sawah, jembatan penghubung sungai kecil dan besar. Tapi di sepanjang Jawa Barat hingga memasuki wilayah Jawa Timur. Pemandangan yang asing! Pertama kalinya Saya melihat, sawah-sawah umpama gurun dan sungai-sungai itu mengering membuat mata sipa saja leluasa menengok retakan-retakan tanah dan daun-daun yang mengering.
Pada saat itu, pemberitaan juga ramai menayangkan, bagaimana para warga kesulitan kebutuhan air untuk sehari-hari. Setiap hari bergelut dengan panasnya suhu musim panas, tidak bisa mandi, keringat-keringat dalam jumlah banyak, rata membuat tubuh seluruh warga desa lengket. Belum lagi balita-balita yang menangis, kekebalan tubuhnya tidak mampu untuk melawan ekstrimnya cuaca. Bahan makanan menipis, mulai bermunculan penyakit-penyakit. Binatang ternak warga, satu-persatu mati. Bahkan para penggembala, merelakan gembala mereka dijual dengan harga yang amat murah. Emosi Saya rasanya meluap-luap, utamanya kepada rakyat kecil biasa. Sungguh menderitanya mereka.
Tahun 2019 ini, kemarau rasanya menyapa dengan waktu yang lebih lama. Sebelumnya diawali dengan angin bawaan dari Australia. Walaupun musim panas di Kota Negara, Bali, udaranya tidak berubah menjadi sangat panas. Udara cukup bersahabat! Kemarau, tapi langit sering teduh dan udara masih dingin. Tapi keadaan ini tetap membuat hati Saya resah, walaupun sumur Saya masih mengeluarkan airnya. Tapi sejak beberapa bulan yang lalu, Saya sudah menunggu turunnya air hujan. Saya memantau informasi dari perkiraan cuaca setiap bulannya. Tapi belum ada tanda-tanda pasti kapan air hujan akan turun. Belum lagi, Saya sudah mendapat kabar, jika desa di bagian barat. Sumur-sumurya sudah tidak mengeluarkan air.
Maksud Saya, bagaimana di masa depan nanti. Jika musim panas terjadi lebih lama lagi, lebih ekstrim daripada sekarang. Apakah kita sudah siap, melihat bencana kekeringan yang lebih dasyat menimpa orang-orang terdekat kita? Menimpa kita!
Peran Pemerintah Daerah
Saya sadari, perubahan iklim cuaca yang tak menentu, kerusakan lingkungan hidup dan penyebab bumi lambat laun tak layak untuk dihuni adalah buah dari kebodohan dan keserakahan manusia sendiri. Berdalih untuk memajukan ekonimi masyarakatnya, menjadikan perasaan yang wajar untuk mendirikan bangunan, melakukan penebangan pohon tanpa pikir panjang. Dalam hal ini, siapa yang berwenang untuk mempertimbangkan dan memberikan perizinan untuk mendirikan bangunan. Dan bagaimana kiat pemerintah daerah khususnya untuk menjaga kekayaan alam yang sudah ada?
Seperti yang belakangan ditayangkan di televisi. Jumlah mata air kita lambat laun mengalami penyedikitan jumlah. Usut punya usut, pemerintah menyerahkan proses pengelolaan langsung pada daerah/warga desa yang memiliki sumber mata air. Sepertinya, masyarakat daerah pun masih sangat minim kesadaran dalam upaya menjaga sumber daya alam. Saya harapkan, pemerintah daerah, bisa melakukan monitoring intens dan berkelanjutan. Harus ada, bagian dari job pemerintahan daerah untuk melakukan penjagaan alam lingkungan di daerah masing-masing. Sehingga, bencana yang seringnya datang dari alam kita, bisa diperkecil kerusakannya. Semoga pemerintah dan masyarakat bisa saling bekerja sama, menciptakan daerah tempat tinggal yang layak untuk masyarakatnya dan kehidupan generasi kita selanjutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H