Pulau Bidadari menunjukkan kemolekannya hari itu. Akhirnya, setelah perjuangan panjang perjalanan Solo –Jakarta saya tiba juga di Pulau Bidadari. Bertolak dari Pantai Marina, saya bersama para Kompasianer beruntung lainnya, diberi kesempatan menikmati liburan di Pulau Bidadari.
Saya merasa perjalanan traveling kali ini berbeda dari perjalanan saya yang sudah-sudah. Jelas, karena ini adalah sebuah hadiah dari lomba Pesona Bahari yang diadakan Kompasiana, Indonesia Travel dan Kementrian Pariwisata. Tapi selain itu, saya benar-benar merasakan perjalanan yang berbeda selama menjejaki Pulau Bidadari
1. Pulau Bidadari memberi bukti bahwa di dunia itu tak ada yang abadi
Begitu Speed boat merapatkan diri di dermaga Pulau Bidadari, kesan mewah langsung terasa. Tanaman pagar yang dibentuk berbagai macam bentuk seperti bulatan, kapal, dan burung terpampang di pinggiran pulau. Mereka seolah mengatakan “Selamat datang di sebuah Pulau mewah”
Yap, Pulau ini memang berkesan mewah saking sangat terawat. Di bawah naungan PT Seabreez Pulau Bidadari menawarkan kenyamanan melalui resort-resortnya. Siapa sangka, Pulau yang nampak mewah ini dulunya adalah sebuah Pulau yang pernah dijuluki “Pulau Sakit.”
Tidak ada yang abadi, Pulau yang dulu pernah menjadi tempat isolasi orang-orang sakit yang beresiko menular itu, siapa sangka, kini menjadi Pulau yang amat menarik wisatawan. Kesan ‘sakit’ pun sudah tidak ada. Karena seperti nama barunya, Pulau bidadari menyimpan keindahan laksana rumah para bidadari. Seolah Pulau ini adalah secuil surga di Wilayah padat kota Jakarta.
2. Mengunjungi Pulau Bidadari mengingatkan saya pada sebuah pepatah “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya”
[caption caption="meriam masa lampau di Pulau Bidadari"]
Para Kompasianer mengunjungi Pulau Bidadari ditemani oleh Bapak Candriyan Attahiyat. Seorang arkeolog yang asli pernah meniliti langsung di Pulau Bidadari. Darinyalah kami mendapat pengetahuan tentang sejarah Pulau Bidadari-Pulau Onrust-Pulau Cipir-Pulau Kelor-Pulau Edam.