Kebahagiaan adalah satu kata yang selalu menjadi misteri dalam setiap kehidupan, namun dibalik ke-misteri-annya selalu menjadi perburuan nomor satu dalam mengarungi kehidupan. Ada yang menganggap bahagia itu sederhana, karena bahagia letaknya ada didalam diri tanpa ada faktor dari luar yang mempengaruhi. Mereka juga berpendapat bahwa bahagia bisa ditemukan dengan cara-cara yang sederhana dalam menjalani kehidupan. Disisi lain, ada yang keberatan dengan ungkapan tersebut, mereka mengaggap bahwa dalam memperoleh kebahagiaan yang sederhana memerlukan sebuah proses yang tidak sederhana. Mereka beranggapan bahwa ketika ada orang yang bahagia, hampir pasti ada orang lain yang terpaksa mengorbankan kebahagiaannya demi kebahagiaan orang lain tersebut.
Sederhananya ketika membicarakan kebahagiaan masing-masing orang memiliki sudat pandang yang berbeda dan tentunya setiap orang menginginkankebahagiaan yang ideal seperti yang diimpikan. Masih membekas dalam ingatan kita 20 Desember 2012 ketika diputarnyafilm Habibie & Ainun setiap orang menginginkan kebahagiaan seperti kehidupan mereka berdua. Bahkan baru-baru ini berita tentang dinikahinya putri AA Gym dengan mahar hafalan al-Qur’an 30 Juz juga menjadi perbicangan yang hangat dalam ranah kebahagiaan. Jika kita tarik kebelakang terdapat beberapa tokoh dunia yang legendaris dengan kisah kebahagiaannya,dimulai dari Antony & Cleopatra (31 SM), Annie Oakley & Frank Butler (1940), Juan & Evita Peron (1940) dan masih banyak lagi kisah kasih lainnya.
Tidak salah memang ketika seseorang menginginkan kebahagian yang diidamkan, namun yang perlu disadari adalah bagaimana kita menyadari sepenuhnya siapa dan ada diposisi mana kita sebenarnya. Mengenai masalah ini saya teringat dengan teori Humanistik Eksistensial Carl Rogers. Dalam teorinya Rogers mengatakan dalam upayanya mencapai kebutuhan yang tertinggi yaitu aktualisasi diri manusia akan melewati yang namanya medan fenomenal. Medan fenomenal ini merupakan keseluruhan pengalaman yang pernah dialami individu baik itu disadari maupun tidak disadari. Pada medan fenomenal inilah individu mendapat tantangan mampu atau tidak dalam menyelaraskan self ideal (aku ideal) dan self concept (aku yang nyata). Ketika individu mampu menyelaraskan aku yang ideal dan aku yang nyata maka individu akan dikatakan terbebas dari kecemasan, namun sebaliknya ketika individu tidak mampu menyelaraskan keduanya maka akan selalu timbul kecemasan dalam dirinya.
Nah, ketika dihubungkan dengan masalah kebahagiaan yang diidamkan, yang perlu menjadi perhatian adalah sudah pantaskah kondisi nyata kita sekarang diselaraskan dengan kodisi ideal yang kita inginkan? Sebuah pertanyaan simpel yang memberikan penyadaran dalam diri kita untuk mencari kebahagiaan yang ideal. Saya meyakini setiap laki-laki mengidamkan sosok “ainun” dan perempuan diseluruh pelosok di negeri ini mengidamkan sosok “habibie” dalam mengarungi kehidupannnya. Namun yang perlu disadari sudah selaraskan kondisi nyata kita sekarang ini mendapatkan sosok ideal “ainun dan habibie” tersebut? Yang saya yakini setiap laki-laki akan menjadi “habibie” dalam diri perempuan yang disayanginya. Sementara setiap perempuan akan menjadi “ainun” untuk setiap laki-laki yang disayangi, tentunya dengan caranya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H