Perbedan selalu ada dalam setiap penetapan awal puasa dan hari raya baik idul fitri maupun idul adha yang baru saja kita lalui bersama. Bagi saya pribadi memperdebatkan penetapan ini kurang begitu menarik karena saya yakin mereka masing-masing memiliki dasar hukum tersendiri. Bagi saya melaksanakan apa yang menjadi keyakinan masing-masing lebih mulia daripada memperdebatkan sebuah kebenaran, karena kebenaran akan lepas jika diperdebatkan dan kebenaran bukan untuk diperdebatkan.
Menarik untuk kemudian dicermati adalah bagaimana esesnsi dari qurban itu sendiri yang biasanya dilaksanakan setelah sholad idul adha di rumah, musholla maupun di masjid. Hukum menyembelih hewan qurban adalah sunnah muakkad bagi muslim, yang baligh dan berakal. Tiga hal yang barusan juga menjadi syarat atas setiap perintah yang wajib dan yang sunnah. Khusus untuk melaksanakan ibadah Qurban, disyaratkan pula mampu secara ekonomi untuk melaksanakannya sebagaimana ibadah haji.
Di dalamberkurban terdapat banyak manfaat secara psikologis yang bisa membuat individu lebih bahagia. Hal sederhana yang bisa kita lihat dijejaring sosial banyak diantara mereka yang kemudian selfie dengan binatang yang akan dikurbankan, entah apa tujuan mereka. Kemudian yang perlu diperhatikan adalah berkurban bukan tentang kesombongan material, tapi lebih pada bagaimana membunuh instink “kehewanan” kita.
Freud menyatakan bahwa manusia itu hidup dengan memiliki 2 insting, yaitu insting hidup (dorongan naluri untuk hidup) dan insting mati (dorongan agresif seperti perilaku menyerang). Selaras dengan apa yang disampaikan Freud, Al-Ghazali pernah menyampaikan “Al-insanu hayawanun nathiq” yang artinya “manusia adalah hewan yang berfikir”, sebuah ungkapan yang familiar di telinga banyak orang. Khususnya mereka yang pernah mempelajari logika atau manthiq. Ungkapan Al-Ghazali tersebut jelas mengisyaratkan bahwa ada insting kehewanan dalam diri kita, dan melalui kurban inilah diharapkan kita turut serta menyembelih insting kehewanan kita.
Setelah melakukan penyembelihan hewan kurban, biasanya diikuti dengan pembagian daging kurban. Islam menganjurkan daging qurban dianjurkan untuk diberikan kepada warga muslim yang fakir dan miskin dengan niat shadaqah. Jikalau daging itu diberikan kepada muslim yang dapat dikategorikan kaya (cukup dan terpenuhi ekonominya) maka daging itu diberikan dengan niat memberikan hadiah, karena sedianya shadaqah atau sedekah itu bukan untuk orang yang sudah kaya.
Pembagian daging kurban ini ketika kita cermati merupakan perilaku prososial, yang mana perilaku ini merupakan perilaku yang menguntungkan penerima. William (1981) membatasi perilaku prososial secara lebih rinci sebagai perilaku yang memiliki intensi untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik, dalam arti secara material maupun psikologis. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa perilaku prososial dengan berkurban bertujuan untuk membantu meningkatkan well being orang lain.
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah (al-kautsar: 1-2)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H