[Selamat Hari Santri Nasional]
Ditengah isu SARA yang makin kenceng bergesek, mempunyai label santri menjadi sulit. Pada kondisi tertentu bukan persoalan agama yangs sering mengjadi bahan diskusi, tapi pengikut aliran mana. Santri millenial yang sedang merintis jalan menjadi ulama sekaligus wapres, Sandiaga Salahudin Uno?, atau (ustad?) Abu Janda, atau bahkan jamaah majelis asuhan Tretan Muslim?
Pun ketika memperingati hari santri sering kali kita dituntut untuk memberi terimakasih pada yang meresmikan adanya peringatan ini. Seolah ada utang budi, terserah kalian ingin berterimakasih atau tidak, karena bagiku entitas santri telah ada jauh ketika peradaban islam dimulai. Tidak perlu adanya peringatan ini, dalam kondisi bagiamanapun santri tetaplah mulia.
Aku bersyukur pernah menjadi santri. Bagian kecil yang kadang terlalu berat untuk kupikul. Tapi mendapat kesempatan belajar untuk lebih baik selangkah menjadi manusia tentu tidak boleh terlewat percuma. Membawa embel-embel santri berat, kita harus menjaga sikap dan prilaku (yah walaupun setiap orang harusnya wajib menjaga).
Kurang lebih enam tahun aku mondok, sebuah jarak waktu yang tidak sedikit. Ada banyak kenangan terukir disana Setiap hari santri seperti ini aku selalu dipaksa untuk bernostalgia. Bagaiamana tidak sepanjang (sejak setelah SD) waktu yang habis dipondok lebih banyak dari pada dirumah. Hingga kadang aku lupa diri membedakan rumah yang mana, pondok yang mana.
Aku ingat momen pertama kali mondok, baru dua hari udah memprovokasi temen untuk kelahi (jangan ditiru). Akhirnya kelahi juga walau lebih banyak kena bogem dari pada membogem haha. Juga ketika seneng sekali melihat adik tingkat sengsara (sangat tidak santri dan juga jangan ditiru) pas jurit malem, bayangkan saja tengah malam bangunin anak orang, nyuruh mereka keliling kuburan ditengah hutan kemudian dibentak-bentak, pas dibentak kepalanya dipasangi kolor, (astafirullah apa yg kulakukan). Walau pada akhirnya senyam-senyum minta maaf sambil makan mie plus kopi sebelum subuh.Â
Dan sekarang aku sadar yang kulakukan dulu betul-betul nir-faedah. Aku taubat dari hal menggelikan seperti itu. Makanya sampai sekarang aku kurang suka dengan acara perpeloncoan berkedok diklat yang masih sering di kampusku. Juga yang lumanyan parah nyuri rambutan warga dan hampir kena golok. Tapi berkat kemampuan bacot yg mumpuni aku dan komplotan dimaafkan.
Itu hanya secuil cerita tidak bagus yang terus terkenang. Ada juga cerita lebih berfedah lain seperti pernah juara lomba baca kitab kuning, juara pidato bahasa arab, juara cerdas cermat, dan juara-juara lainya, takut kebanyakan dikira sombong. Beragam cerita itu sedikit banyak membentukku hari ini, membentuk pola pikir, juga memberiku batas sebagai seoraang hamba agar tidak terlena.
Ceritaku mungkin biasa, tapi ada makna yang tidak terdeskripsikan disana. Mungkin kalian punya cerita berbeda?
              Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H