Penyataaan Marta Tanjung bisa benar juga salah. Misalnya bantuan dana bantuan operasional sekolah (BOS), besaran alokasi dana yang diterima setiap sekolah ditentukan seberapa banyak siswa, sedangkan sekolah yang jumlah peserta didiknya kurang dari 60 siswa maka hanya mendapatkan alokasi dana sebanyak 60 siswa.
Sekolah favorit tentu akan mendapat alokasi dana yang lebih besar sehingga perkembangan sarana dan fasilitas jauh lebih cepat. Bandingkan dengan sekolah yang peserta didiknya tidak seberapa. Belum lagi banyak sekolah favorit melakukan pugutan intensif "liar".
Kelemahan Sistem Zonasi
Tidak bisa dipungkiri sistem zonasi masih menyimpan banyak sekali kelemahan. Seperti yang disampaikan Marta Tanjung, tidak semua sekolah saat ini siap dengan sistem zonasi. Tujuan utama sistem zonasi untuk menyeratakan kualitas pendidikan, tapi hal ini akan sulit jika sapras dan fasilitas belumlah merata.
Masih banyak sekolah di Indonesia yang sapras dan fasilitas belum memadai. Wakil Sekjen FSGI Satriawan Salim menilai kebijakan sistem zonasi adalah upaya yang cenderung menyederhanakan persoalan pendidikan yang unik secara geografis.
Sama halnya seperti Ujian Nasional (UN). Dalam kondisi bagaimanapun persoalan pendidikan di Jawa tidak bisa disamakan dengan persoalan di Aceh apalagi Papua dan daerah-daerah lain.
Masalah lain muncul dari peserta didik yang frustasi tidak diterima di sekolah favorit. Seperti kasus yang menimpa siswi yang bunuh diri di Blitar. Siswi ini diduga frustasi karena gagal masuk SMA 1 Blitar, namun domisilinya tercatat di kabupaten blitar yang tidak masuk zonasi yang sama.
Sistem zonasi membatasi pilihan sekolah para peserta didik. Semua orang tua peserta didik tentu ingin memberikan pendidikan terbaik untuk anaknya, tapi dengan adanya sistem zonasi pilihan sekolah hanya ada dilingkar zona yang ditentukan. Tapi bagaimanapun sistem zonasi adalah salah satu langkah jitu menyeratakan kualitas pendidikan.
Sistem zonasi saat ini bagai buah mengkal. Setengah matang. Sistem zonasi merupakan upaya cerdas tapi disaat yang kurang tepat. Sistem zonasi belum disokong oleh sarpas, faslitas, dan kualitas guru mumpuni yang merata, sehingga peserta didik juga masyarakat masih tidak percaya dengan adanya sistem zonasi. Disini pemerintah harusnya lebih memperbaiki fasilitas dan kualitas guru. Akan jadi ironi bila sebuah sistem yang bagus akan berakhir sia-sia.
Dan terakhir menilai sukses tidaknya sistem zonasi tidak bisa dilihat dalam satu dua tahun pelaksanaan. Sistem zonasi adalah sistem jangka panjang yang memperhatikan luasnya Indonesia. Uniknya manusia serta keadaan geografis akan membuat sistem zonasi berjalan lebih lambat.
Bila hal ini berhasil kualitas pendidikan sedikit banyak tidak akan jauh berbeda antara satu wilayah dengan lainya, sehingga harapan penyama rataan kualitas bakal tercapai. Tapi bila gagal bukan tidak mungkin kualitas pendidikan Indonedia akan merosot jauh kebawah, semoga saja tidak.