Hidupku berteman kesendirian, beraromakan kesedihan yang pekat menyelimuti ruang sempit bernama bumi.  Tak ada teman, apalagi kawan yang siap menahan amarah dan kesedihan. Sendiri, dalam kesendirian dan tetap sendiri meskipun Mentari membuka diri mengajak bergabung. Entahlah, tak ada yang pasti kecuali Imajinasi yang selalu datang, tanpa diminta tanpa diundang. Kadang, Imajinasi berubah menjadi khotib masjid yang membuatku kembali sadar akan apa arti hidup, kadang membumikan mimpi-mimpiku, kadang menguatkan ingatan akan perjanjianku dengan Malaikat, yang aku lupa namanya, sewaktu masih terperangkap di perut Ummi. Namun, tak jarang pula Imajinasi berubah menjadi topeng kehidupan, membohongi dan memasukkanku ke ruangan sebelah yang begitu pengap, semua bagai mimpi tanpa tidur. Aku masih ingat benar kapan pertama kali Imajinasi datang menemuiku. Menyendiri di pojok kamar, di suatu malam. Ku coba menyapa  dan tersenyum padanya. Dan baru kali ini aku melihat senyuman yang begitu manis, senyuman bidadari surga ketika Imajinasi membalas sapaanku. Sayang, Ia menghilang pergi berganti kebingunganku.
**********************************************
"Piye? Sudah siap ikut denganku?" Tanya Malaikat Maut, untuk yang kesekian kalinya. "Sudah terlalu lama Aku menunggumu, ini yang terakhir kalinya Aku minta dan kau harus ikut denganku, Aku tak mau berurusan lagi dengan Baginda Gusti!"
Malam ini, Malaikat Maut kembali menjengukku. Aku masih ingat dua tahun lalu Ia datang dan mengajak pergi. Â Wajahnya tampak kelelahan, mungkin karena kesulitan mencari tempat tinggalku yang tersembunyi di ujung gang. Tanpa senyum, tanpa tatapan marah, tapi itu sudah cukup membuatku takut. Belum pernah aku merasa ketakutan seperti itu. Tapi aneh, suaranya terlalu pelan untuk wajah yang membuatku takut. Namun itulah yang membuatku memberanikan diri menatap matanya.
"Aku belum siap" jawabku waktu itu, reflek saja entah kenapa aku sanggup berkata seperti itu pada Malaikat Maut. Yang ditanya hanya diam, tak bicara. Lalu menghilang begitu saja, meninggalkanku dalam ketakutan. Kali ini, Ia datang lagi dan mengajakku pergi, namun berbeda dengan pertemuanku yang pertama, Ia tampak sumringah, tersenyum begitu lebarnya. Heran, sekaligus sedikit lega. Lama aku memandanginya, tak ada lagi wajah kelelahan, pakaiannya putih bersih, tangannya memegang buku tebal yang aku tidak tahu isinya. Yang pasti Ia selalu membawa buku itu kemanapun Ia pergi. Namun, aku sadar kali ini aku tak bisa mengelak lagi. Samar, aku mendengar tangisan memanggilku dan kematian mengajakku pergi.
"Lama tak jumpa, bagaimana kabarmu?" tanyaku, mencoba mengalihkan. Ia tetap tersenyum, tak menjawab pertanyaanku. Lama aku terdiam, semuanya membisu.
"Bagaimana? Kau sudah siap ikut denganku?" katanya tiba-tiba, memecah kebisuan. "Dua tahun terlalu lama, sekarang saatnya kau pergi" lanjutnya. Aku tidak tahu, apa aku siap pergi bersamanya, meninggalkan yang aku sayangi disini, meninggalkan peran yang begitu aku cintai ini. "Sekarang, bersiap-siaplah, kemasi pakaianmu, dan ganti bajumu dengan yang lebih pantas, Aku tunggu di luar". Kata Malaikat Maut. "Tidak bisakah Kau menunggu sebentar saja, sampai aku bisa menemukan apa yang kucari selama ini?" tanyaku pada Malaikat Maut. Sudah berkali-kali aku mencarinya, setiap wajah kutatap barangkali aku menemukan apa yang kucari, setiap celah kulalui dengan gamang, namun aku tetap tak menemukan apa yang kucari sejak dulu.
"Tolong, sekali ini saja" pintaku. Aku harus bertemu dengan senyuman yang selalu menguatkan tubuh lemahku, senyuman yang selalu datang dari kebingungan malam, senyuman itu, yang selalu datang dalam Imajinasiku, aku harus bertemu dengannya dulu, sebelum semuanya berakhir.
Tak ada jawaban dari Malaikat Maut, Ia hanya menatap sebentar lalu berdiri.  Aku merasakan tubuhku meregang, seolah menolak kehendak Malaikat Maut yang membawa nyawaku, tubuhku melawan kehendak waktu. Sewaktu ruhku meloncat dari tubuhku, samar kulihat senyum kepuasan dari Malaikat Maut. Perlahan-lahan, aku melihat kaki, tangan, kepala dan seluruh tubuhku melayang. Aku berjalan di angkasa, dapat kulihat juga mega, lautan, pantai dan pasir.
**********************************************
Di persimpangan yang entah ke berapa, pintu gerbang berukir indah menawan membuatku menghentikan langkah. Tak jelas benar berfungsi sebagai apa gerbang itu, karena seperti digantungkan begitu saja di antara serpihan awan. Tak ada siapa-siapa di situ. Tak ada penjaga satpam apalagi kamera CCTV. Kucoba membukanya, lalu tampak sebuah lorong sempit memanjang dengan banyak pintu di kanan kirinya.